Kegiatan Terbaru di Gua Maria Lawangsih Tahun 2010 :

- Website ini masih dalam proses pengerjaan dan update, jadi ada beberapa fitur yang belum berjalan sempurna

Gua Maria Lawangsih terletak di Perbukitan Menoreh, perbukitan yang memanjang, membujur di perbatasan Jawa Tengah dan DIY, (Kabupaten Purworejo dan Kulon Progo). Di tengah perbukitan Menoreh, bertahtalah Bunda Maria Lawangsih (Indonesia: Pintu Berkat/Rahmat). Gua Maria Lawangsih berada di dusun Patihombo, Desa Purwosari, Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo. Secara gerejawi, masuk wilayah Stasi Santa Perawan Maria Fatima Pelemdukuh, Paroki Santa Perawan Maria Nanggulan, Kevikepan Daerah Istimewa Yogyakarta, Keuskupan Agung Semarang. Kontak Person: Romo Ign. Slamet Riyanto, Pr Pastoran SPM Tak Bernoda Nanggulan Karang, Jatisarono, Nanggulan, Kulon Progo Phone: 0857 4371 7676 Anda ingin berpartisipasi dalam pembangunan Gua Maria Lawangsih? Doa dan partisipasi Anda akan membuat semakin banyak umat mengenal Allah, dekat dengan Allah melalui Maria. Berkah Dalem Gusti tansah amberkahi

Berita dan Info

Peziarahan Uskup Bandung “Sowan” Sang Ibu Maria Lawangsih (1)

Diposting oleh "Eksotisme Gua Alam"

(Lawangsih) Berkat itu tercurahkan kembali. Selasa pagi, 09 Maret 2010, pukul 09. 00 WIB, Mgr. J. Pujasumarta, Uskup Keuskupan Bandung, dengan ditemani Mas Kris (sopir Mgr. Pujo) datang berziarah “sowan” (Indonesia : menghadap) Bunda Maria Lawangsih.






Sungguh peristiwa yang membuat hati saya dan umat Stasi SPM Tak Bernoda Pelemdukuh terhenyak, heran, tak percaya peristiwa ini terjadi. Uskup Bandung, yang dulu adalah Vikaris Jendral (Vikjen) Keuskupan Agung Semarang, “rawuh” (Indonesia : datang) dan sowan pada Bunda Maria. Mgr. Pujasumarta, dari Bandung secara khusus ingin “sowan” pada Bunda Maria Lawangsih di Stasi SPM Fatima Pelemdukuh setelah membaca blog ini, ingin membuktikan langsung keberadaan tempat doa “Goa Maria Alam” yang baru di Keuskupan Agung Semarang.

Kisah ini bagi saya sungguh membuat bahagia, termotivasi, bangga, namun juga amat sangat malu. Mengapa? Kisahnya demikian; Senin malam (09/03/2010) saya menerima SMS dari nomor Handphone yang belum saya kenal. Isi pesan singkat tersebut: “ Romo, selamat petang. Besok pagi saya akan datang ke Goa Lawangsih Nanggulan. Mohon informasi rute perjalanan ke sana. Makasih.” Sebagaimana saya menanggapi SMS para peziarah yang akan datang ke Goa Maria Lawangsih, saya membalasnya secara informatif, to the point: “Anda darimana, naik apa, berapa orang?”. Kemudian ada SMS balasan : “Saya dari Bandung, naik mobil, saya berdua saja Romo.” Saya membalasnya: “Jalur perjalanan Anda darimana?. SMS masuk lagi: “Besok pagi saya sampai di Muntilan”. Saya membalas: “Oke. Terimakasih perhatiannya, besok saya juga akan rapat di Stasi, bisa berangkat bersama-sama saya. Saya tunggu.”. SMS masuk : “Ok Romo, terimakasih kalo Romo berkenan mengantarkan kami.

Malam sampai pagi, tidak terjadi apa-apa. Semua berjalan biasa. Namun, tiba-tiba Selasa pagi pukul 09. 00 WIB, masuklah mobil Ford hitam plat nomor D 167 KB meluncur pelan-pelan menuju parkiran di depan Pastoran Nanggulan. Saya mulai curiga, kok yang ada di sana kayaknya saya sangat kenal. Dari kejauhan, saya melihat sosok tinggi, besar, berwibawa, dan (mohon maaf Mgr.) berambut putih – botak, turun dari Ford hitam itu. Matilah saya. Mgr. Pujasumarto, Uskup Bandung, yang datang. “Oalaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhh, jebul Mgr. to yang SMS saya?”. Itulah kata-kata di balik mulut saya yang tertutup rapat bingung mau omong apa. Saya langsung mencium tangannya,mohon berkat (sebenarnya juga sambil menyembunyikan rasa malu saya. Hehehehe…). Lha gimana gak malu? Dulu, beliau adalah Rektor saya di Tahun Orientasi Rohani (TOR 1997 di Semarang), dan Rektor Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan. Waduh-waduh…. Mau saya taruh mana muka ini.

MGR. PUJA DI PASTORAN NANGGULAN
Rasa malu yang berlebihan, tidak baik untuk kesehatan”. Itu pepatah yang saya ciptakan pada saat berjumpa Bapak Uskup Bandung. Bapak Uskup rupanya mengerti rasa “malu” saya. Syukur, Bapak Uskup sangat professional mencairkan suasana. Setelah beberapa waktu, Bapak Uskup ngobrol bersama saya, Rm. Sapta Margana, Pr, dan juga bersama karyawan-karyawan pastoran. Wah…. Anugerah tenan. Uskup Bandung, mampir Nanggulan. Elokkk, elokkkk.




EKSPEDISI KE GOA MARIA LAWANGSIH
Perjalanan ziarah bersama Mgr. Puja menuju Goa Lawangsih dimulai. Sejak di perempatan Kenteng (Ngemplak), Mgr. Puja sudah menyiapkan senjata andalan yang tak pernah ketinggalan: kamera digitalnya. Siap jepret sana-sini. Decak kagum berulangkali diungkapkan. Perbukitan menorah yang hijau, sejuk dengan hamparan padi di sekeliling jalan, hamparan pohon jati di perbukitan, diselingi tebing-tebing yang sangat eksotis. Beberapa kali Mas Kris harus mengendarai Ford nya pelan-pelan. Mgr. Puja beberapa kali membuka jendela mobil, melongok keluar dan mengabadikan “peziarahan” ke goa Lawangsih. Keindahan itu semakin bertambah tatkala mobil melewati perbukitan di daerah Bibis. Pemandangan alam kota Jogja terlihat nun jauh di sana. Pemandangan alam yang amat sangat eksotis menambah semangat perjalanan. Di kejauhan, Nampak pantai laut selatan yang semakin menampakkan keagungan Sang Pencipta.


MGR. PUJA MENGHADAP BUNDA MARIA LAWANGSIH
Wooooow….. sungguh eksotik”. Itu komentar awal Mgr. Puja begitu melihat pemandangan alam di sekitar Goa Maria, sesaat setelah mobil berhenti dan parkir di samping toilet di bawah goa. Begitu naik ke lokasi goa yang jaraknya hanya 20 m dari parkiran,Mgr. Puja langsung action for foto- session, bergaya di bawah papan nama Panti Doa Goa Maria Lawangsih, dan mengajak bapak-bapak yang sedang bekerja bakti untuk berfoto bersama. Pelan-pelan sembari menikmati perjalanan di tangga menuju goa, senyumnya yang khas mengembang. Semakin mengagumi Sang Pencipta.



Di pelataran goa, Mgr. Puja sudah disambut bapak-bapak yang bekerja bakti membuat rumah untuk altar dan tempat transit peziarah. Mgr. Puja kemudian berkeliling kesana kemari mengabadikan semua peristiwa dan keindahan alam di Goa Maria Lawangsih. Setelah itu, Mgr. berdoa di depan Bunda Maria Lawangsih, dan berfoto bersama Bunda Maria dengan begitu “mersra”, menandakan kedalaman rohani dan devosi Mgr. Puja kepada Bunda Maria. Mgr. juga masuk ke dalam goa, lorong-lorong di dalam goa.



Setelah puas di goa Maria Lawangsih, Mgr. Puja menyempatkan diri untuk datang ke rumah “juru Kunci”/koster Goa Maria Lawangsih (Bapak Sukarjo) untuk menikmati hidangan snack dan makan siang yang telah ada. Di sini Mgr. Puja menyempatkan menengok kandang Kambing Ettawa yang dimiliki oleh Bapak Sukarjo, yang juga merupakan andalan warga Stasi Pelemdukuh.



GOA MARIA PENGILONING LERES
Goa Pengiloning Leres adalah cikal bakal Goa Maria Lawangsih, dan Mgr. Puja ingin berkunjung ke Goa Pengiloning Leres yang jaraknya berkisar 500m dari Goa Maria Lawangsih. Goa Pengiloning Leres berada di atas Kapel SPM Fatima Pelemdukuh. Di sana Mgr. Puja menikmati indahnya suasana rohani yang eksotis, pemandangan alam kota Jogja di bawah sana, dan juga patung Kristus Raja yang bertahta di atas Goa Pengiloning Leres.

KOTBAH PEMBUKAAN BULAN ROSARIO 2009

Diposting oleh "Eksotisme Gua Alam"

Bayangkan bila kita pada saat berdoa kita mendengar jawaban ini:


"Terima kasih Anda telah menghubungi Rumah Bapa. Tekan Pilihlah berikut ini:..
..tekan 1 untuk meminta/memohon.
..tekan 2 untuk mengucap syukur;
..tekan 3 untuk mengeluh;
..tekan 4 untuk permintaan lainnya."
..tekan 5 untuk memohon bantuan…….


Atau, bagaimana jika Allah memohon maaf seperti ini: "Saat ini semua malaikat sedang membantu yang lain. Tetaplah menunggu, Panggilan Anda akan dijawab sesuai urutannya." Atau bisa juga Anda mendengar ini: "Komputer kami Menunjukkan bahwa Anda telah satu kali menelepon hari ini, silahkan mencoba kembali esok hari." "Kantor ini ditutup pada hari Minggu, silahkan menelpon lagi pada hari Senin setelah pukul 9 pagi."

Namun, puji Tuhan, Allah mengasihi kita, kita dapat menelponnya setiap saat! kita hanya perlu memanggil sekali dan Dia mendengar kita, karena Yesus, kita tak akan pernah mendengar nada sibuk. Tuhan menerima panggilan dan tahu siapa pemanggilnya secara pribadi. Ketika kita memanggil, Tuhan menjawab; kita menangis minta tolong dan Dia akan berkata: "Ini Aku" (Yesaya 58:9)
Maria Dalam Gereja


Banyak dari antara umat Katolik yang ragu akan peranan Maria dalam Gereja, atau banyak juga yang tidak tahu tentang hal itu. Saat ini mari kita bersama-sama merenungkan tema tersebut.

1. Maria sebagai PERANTARA RAHMAT ALLAH Banyak saudara dari luar Katolik mengkritik Gereja Katolik sebab mereka berpandangan bahwa untuk berdoa kepada Bapa seorang Katolik memerlukan Maria sebagai 'perantara'. Kritik itu sendiri salah besar. Gereja Katolik tetap melihat Yesus sebagai satu-satunya perantara dengan Bapa dan bukan Maria. Hal ini jelas dari 1 Tim 2:5-6. Yang dimaksud Maria sebagai 'perantara' dalam Gereja katolik ialah

a. Sehubungan dengan Sabda ilahi Santa Perawan sejak kekal telah ditetapkan untuk menjadi Bunda Allah. Ia mengandung, melahirkan, membesarkan, memasyarakatkan Yesus dan bahkan ikut menderita ketika Putranya wafat di salib. Oleh karena itu dalam tata rahmat ia menjadi Bunda kita.

b. Sejak maria menerima panggilan Bapa untuk menjadi ibu Sang Juruselamat sampai dengan diangkat ke sorga ia terus menerus membagikan karunia-karunia yang mengantar kepada keselamatan. Jadi jabatan 'perantara' pada Bunda Maria bukan = untuk sampai kepada Bapa harus lewat Maria, dari Maria ke Yesus dan baru dari Yesus ke Bapa, melainkan kesanggupannya untuk mengandung Sabda Ilahi yang menjelma menjadi manusia = ia menerima panggilan Bapa untuk membawa keselamatan. Maria yang menerima itulah yang disebut dengan perantara rahmat Allah.


2. Maria IBU GEREJA Karena Yesus adalah saudara sulung bagi kita maka kita karenaNya menjadi putra-putri Maria. Dkl. Maria ibu kita, ibu Gereja. Keibuannya mengajar kita untuk rendah hati: "aku ini hamba Tuhan terjadilah menurut kehendakMu". Maria mengajar kita kebaikan hati. "mereka tidak punya anggur," ia mengatakan kepada Yesus di Kana. Maria Ibu yang gembira melayani putra-putrinya. Ketika Yesus lahir ia menggendong dan membawa-Nya langsung untuk orang lain. Apa yang Maria ingin lakukan? Maria Ingin membawa kegembiraan. Ini merupakan satu saat yang paling indah dalam hidup Maria. Segera setelah Yesus hadir dalam hidupnya, dalam ketergesaan Maria mengunjungi Elisabet. Reaksi kegembiraan itu kita baca dalam injil dengan melonjaknya kandungan Elisabet. Maria dianugerahkan kepada Gereja oleh Yesus: "Ibu inilah anakmu, Yohanes itulah ibumu", agar Gereja bersatu. Yesus tahu bahwa rumah yang tak mempunyai ibu tidak akan ada damai oleh sebab itu Maria adalah ibu pendamai yang membuat Gereja Katolik tetap utuh dan satu. Dari seorang ibu yang baik, Maria, kita belajar untuk menjadi hening, dengan hening kita bisa menyimpan segala perkara dalam hati kita, berdoa dalam keheningan hati kita. Maria bukan ibu yang suka bicara kesana-kemari tiada berpangkal, Maria bukan tipe orang yang senang membicarakan kejelekan orang. Dari injil kita tahu Maria mengajar kita untuk "menerima" susah dan sukses, sedih dan gembira, dalam keheningan dan doa.


3. Roh Kuduslah yang membuat GEREJA MENGHORMATI MARIA Banyak saudara lain mengkritik Gereja karena menghormati Maria, mereka beranggapan bahwa Gereja tidak punya landasan biblis (kitab suci). Apakah betul demikian? "Dan ketika Elisabet mendengar salam Maria, melonjaklah anak yang dalam rahimnya dan Elisabetpun penuh dengan dengan Roh Kudus, lalu bersuara nyaring: "Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan berkatilah buah rahimmu. Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?..........(Luk 1:41-43). inilah salah satu landasan biblis Gereja Katolik menghormati Maria. kalau Roh Kudus sendiri menggunakan mulut Elisabet berkata 'terpujilah engkau diantara wanita' dan 'ibu Tuhanku', mengapa kita ragu..........? Sedangkan patung, lukisan-lukisan dalam gereja atau rumah kita merupakan sarana untuk memudahkan kita menghayati iman. Gereja Katolik tidak pernah menyembah patung. Patung atau gambar sama fungsinya dengan foto keluarga atau foto diri yang kita pasang di dinding rumah atau kamar kita. kalau kita memasang foto di rumah tentu tidak bebarti bahwa kita menyembah foto, melainkan sebagai sarana untuk menghayati kesatuan keluarga, sarana membuat susana rumah tangga damai dsb.


4. Berdoa BERSAMA Maria. Maria adalah pengantara rahmat dan bukan pengantara doa. Oleh sebab itu di dalam doa, kita membawa Maria sebagai teman, ibu yang mendampingi kita untuk menyampaikan syukur, permohonan, harapan, sharing pengalaman hidup kita kepada Yesus. Doa orang Katolik adalah doa sederhana yang tidak memerlukan calo, maka peranan Maria dalam doa ialah sebagai teman, ibu, saudara yang mendampingi, sebab bagaimanapun kita membutuhkan pertolongannya mengingat kelemahan-kelemahan kita. Jangan lupa, Maria adalah ibu kita yang mendoakan kita sekarang maupun saat kita meninggalkan dunia ini. "Ya Maria semula dikandung tanpa noda, doakanlah kami yang berlindung kepadamu."


Rm. Ignatius Slamet Riyanto, Pr

Pastor Paroki SPM Tak Bernoda Nanggulan

DASAR PENGHORMATAN KEPADA BUNDA MARIA

Diposting oleh "Eksotisme Gua Alam"

Seorang teman dari gereja lain mengatakan bahwa penghomatan kepada Bunda Maria itu tidak ada dasarnya. Mohon penjelasan, manakah dasar teologis penghormatan kepada Bunda Maria?
Konsili Vatikan II menyebut tiga dasar teologis untuk penghormatan kepada Bunda Maria.

  • Pertama, keterlibatan aktif Maria dalam Misteri Yesus. Maria terlibat aktif sebagai Bunda Allah Putra. Tak ada orang lain yang dapat menyamai peranan istimewa Maria ini. Maria adalah satu-satunya ciptaan yang mendapatkan anugerah ini. Penyerahan Maria dalam ketaatan, iman, dan cinta kasihnya, menyebabkan Maria menjadi sangat luhur.
  • Kedua, kesucian dan keluhuran tertinggi Maria. Kesucian Maria tidak bisa dibandingkan dengan kesucian lainnya, karena Maria menghambakan diri secara total dalam keadaannya yang tanpa dosa. Maria tidak dihormati seakan-akan ia sendiri berprestasi besar, melainkan karena Allah berkarya dalam dia. Kesucian Maria adalah anugerah Allah, namun anugerah itu sungguh diterimanya, menjadi miliknya sendiri dan membentuk pribadinya.
  • Ketiga, Maria dimuliakan. Setelah penghambaan dirinya di dunia ini selesai, Maria menerima anugerah rahmat ilahi dimuliakan di surga mengatasi semua manusia dan malaikat. Gereja menghormati Maria secara khusus, karena Maria-lah satu-satunya ciptaan yang memiliki keintiman terdalam dengan Yesus. Penghormatan kepada Maria ini hanya mungkin karena Maria membawa kita kepada Tuhan dan karena dalam dia Allah menggapai kita, yaitu Allah yang telah menyerahkan seluruh diri dan hidup-Nya kepada manusia. Konsili Vatikan II menegaskan bahwa penghormatan khusus kepada Maria ini bukanlah “hasil rekayasa baru” Gereja Katolik, melainkan bersumber dan sudah ada sejak semula dalam Gereja. Ajaran tentang penghormatan khusus kepada Maria ini hanyalah merupakan pernyataan ulang dari apa yang sudah ada dalam Gereja sejak awal.

Belajar dari Maria. YANG DIKANDUNG TANPA DOSA (IMMACULATE CONCEPTION) 8 Desember : Hari Raya St. Perawan Maria Dikandung Tanpa Dosa

Diposting oleh "Eksotisme Gua Alam"

Salah satu hal yang khas yang membedakan kita, umat Katolik, dari saudara-saudari kita yang Protestan adalah cinta dan penghormatan yang kita persembahkan kepada Bunda Yesus. Kita percaya bahwa Maria, sebagai Bunda Allah, sudah selayaknya memperoleh penghormatan, devosi dan penghargaan yang sangat tinggi. Salah satu dogma (dogma = ajaran resmi gereja yang dinyatakan secara meriah dengan kekuasaan Paus) Gereja Katolik mengenai Bunda Maria adalah Dogma Dikandung Tanpa Dosa. Pestanya dirayakan setiap tanggal 8 Desember. Masih banyak orang Katolik yang belum paham benar mengenai dogma ini. Jika kalian bertanya kepada beberapa orang Katolik, "Apa itu Dogma Dikandung Tanpa Dosa?", maka sebagian besar dari mereka akan menjawab, "Yaitu bahwa Yesus dikandung dalam rahim Santa Perawan Maria tanpa dosa, atau tanpa seorang bapa manusia." Jawaban demikian adalah jawaban yang salah yang perlu dibetulkan. Ya, tentu saja Yesus dikandung tanpa dosa karena Ia adalah Allah Manusia. Tetapi Dikandung Tanpa Dosa adalah dogma yang menyatakan bahwa Bunda Maria dikandung dalam rahim ibunya, Santa Anna, tanpa dosa asal. Bunda Maria adalah satu-satunya manusia yang dianugerahi karunia ini. Bunda Maria memperoleh keistimewaan ini karena ia akan menjadi bejana yang kudus dimana Yesus, Putera Allah, akan masuk ke dunia melaluinya. Oleh karena itu, Bunda Maria sendiri harus dihindarkan dari dosa asal. Sejak dari awal mula kehadirannya, Bunda Maria senantiasa kudus dan suci - betul-betul"penuh rahmat". Kita menggunakan kata-kata ini ketika kita menyapa Maria dalam doa Salam Maria, tetapi banyak orang yang tidak meluangkan waktu untuk memikirkan apa arti sebenarnya kata-kata ini. Ketika Malaikat Gabriel menampakkan diri kepada Bunda Maria untuk menyampaikan kabar sukacita, dialah yang pertama kali menyapa Maria dengan gelarnya yang penting ini,

Lukas 1:28 "Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau." Kata-kata "penuh rahmat" ketika diterjemahkan dari teks bahasa Yunani, sesungguhnya digunakan sebagai nama yang tepat untuk menyapa Maria. Istilah Yunani yang digunakan menunjukkan bahwa Maria dalam keadaan penuh rahmat atau dalam keadaan rahmat yang sempurna sejak dari ia dikandung sampai sepanjang hayatnya di dunia. Bukankah masuk akal jika Tuhan menghendaki suatu bejana yang kudus, yang tidak bernoda dosa untuk mengandung Putera-Nya yang Tunggal? Bagaimana pun juga, Yesus, ketika hidup di dalam rahim Maria, tumbuh dan berkembang sama seperti bayi-bayi lainnya tumbuh dan berkembang dalam rahim ibu mereka masing-masing. Ia menerima darah Maria dan menerima makanan untuk pertumbuhan-Nya dari tubuh Maria sendiri.

Sebagian kaum Protestan menolak dogma ini dengan mengatakan bahwa Maria berbicara tentang "Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku." Mengapa Maria memerlukan seorang Juruselamat, tanya mereka, jika ia tanpa noda dosa? Gereja mengajarkan bahwa karena Maria adalah keturunan Adam, maka menurut kodratnya ia mewarisi dosa asal. Hanya oleh karena campur tangan Allah dalam masalah yang unik ini, Maria dibebaskan dari dosa asal. Jadi, sesungguhnya Maria diselamatkan oleh rahmat Kristus, tetapi dengan cara yang sangat istimewa. Rahmat tersebut dilimpahkan ke atasnya sebelum ia dikandung dalam rahim ibunya.

Kaum Protestan juga akan menyanggah dengan mengatakan bahwa dogma ini tidak sesuai dengan ayat Kitab Suci yang mengatakan bahwa "semua orang telah berbuat dosa" (Roma 3:23). Namun demikian, jika kita mempelajari masalah ini dengan sungguh-sungguh, kita akan menemukan beberapa pengecualian. Kitab Suci juga mengajarkan bahwa meskipun semua orang telah berbuat dosa, Yesus yang adalah sungguh-sungguh manusia tidak berbuat dosa. Logis jika kita melanjutkannya dengan mengatakan bahwa Maria juga tidak berdosa dan dihindarkan dari dosa asal agar ia dapat tetap senantiasa menjadi bejana yang kudus untuk mengandung bayi Yesus.

Secara sederhana Dogma Dikandung Tanpa Dosa dapat dijelaskan demikian
Seperti kita ketahui, Adam dan Hawa adalah manusia pertama yang diciptakan Tuhan. Tuhan memberikan kepada mereka apa saja yang mereka inginkan di Firdaus, Taman Eden. Tetapi Allah berfirman bahwa mereka tidak diperbolehkan makan buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat. Lucifer, raja iblis, datang kepada mereka dan membujuk mereka makan buah pohon tersebut. Adam dan Hawa memakan buah itu; mereka tidak taat kepada Tuhan dan karenanya mereka diusir dari Firdaus. Oleh karena dosa pertama itu, semua manusia yang dilahirkan sesudah Adam dan Hawa mewarisi apa yang disebut "dosa asal". Itulah sebabnya, ketika seorang bayi lahir, ia segera dibaptis supaya dosa asal itu dibersihan dari jiwanya sehingga ia menjadi kudus dan suci, menjadi anak Allah.

Ketika Tuhan hendak mengutus Putera-Nya, Yesus, ke dunia untuk menyelamatkan kita, Tuhan memerlukan kesediaan seorang wanita yang kudus untuk mengandung Yesus dalam rahimnya. Tuhan memutuskan bahwa wanita ini harus dibebaskan dari dosa asal Adam dan Hawa. Ia juga memutuskan bahwa wanita ini haruslah seseorang yang istimewa serta amat suci dan kudus. Sama halnya seperti jika kalian mempunyai satu termos air jeruk segar, maka kalian tidak akan menuangkannya ke dalam gelas yang kotor untuk meminumnya, ya kan? Kalian akan menuangkan air jeruk segar itu ke dalam gelas yang bersih untuk meminumnya. Demikian juga Tuhan tidak ingin Putera Tunggal-Nya itu ditempatkan dalam rahim seorang wanita berdosa. Oleh karena itulah, Tuhan membebaskan Maria dari dosa asal sejak Maria hadir dalam rahim ibunya, yaitu Santa Anna. Inilah yang disebut Dogma Dikandung Tanpa Dosa - memang suatu istilah yang sulit, tetapi artinya ialah Maria tidak mewarisi dosa Adam dan Hawa, sehingga Maria dapat menjadi seorang bunda yang kudus yang mengandung Yesus dalam rahimnya."

Apakah Maria Dikandung Tanpa Dosa berhubungan dengan mengandungnya Bunda Maria dari kuasa Roh Kudus? Ataukah dogma tersebut berhubungan dengan perkandungan Bunda Maria. Dapatkah dijelaskan?
Sesungguhnya, kebingungan atas dogma SP Maria Dikandung Tanpa Noda Dosa (= Immaculata) bukanlah hal yang jarang terjadi. Sebagian orang secara salah beranggapan bahwa dogma tersebut berhubungan dengan Bunda Maria yang mengandung Kristus dari kuasa Roh Kudus. Sesungguhnya, dogma SP Maria Dikandung Tanpa Noda Dosa adalah keyakinan “… bahwa perawan tersuci Maria sejak saat pertama perkandungannya oleh rahmat yang luar biasa dan oleh pilihan Allah yang mahakuasa karena pahala Yesus Kristus, Penebus umat manusia, telah dibebaskan dari segala noda dosa asal” (Paus Pius IX, Ineffabilis Deus).

Dalam mempelajari sejarah seputar keyakinan ini, kita melihat keindahan Gereja yang didirikan oleh Kristus, yang para pengikutnya yang setia berjuang untuk memahami dengan lebih jelas misteri keselamatan. Perjuangan ini dibimbing oleh Roh Kudus, yang disebut Yesus sebagai “Roh Kebenaran”, yang “akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu”dan “akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran” (bdk. Yoh 14:17, 14:26, 16:13).

Sebagian dari “perjuangan” atas dogma Immaculata adalah tidak adanya kutipan Kitab Suci yang spesifik serta jelas dan gamblang tentangnya. Namun demikian, referensi dalam Injil mengenai Bunda Maria dan perannya dalam misteri keselamatan mengisyaratkan keyakinan ini. Dalam Injil St. Lukas, kita mendapati ayat indah tentang Kabar Sukacita, di mana Malaikat Agung St. Gabriel mengatakan kepada Maria (dalam bahasa kita), “Salam Maria, penuh rahmat. Tuhan sertamu.” Sementara sebagian ahli Kitab Suci berdebat atas “seberapa penuhnya rahmat,” kesaksian St. Gabriel secara pasti menyatakan kekudusan Bunda Maria yang luar biasa. Apabila orang merenungkan peran Bunda Maria dalam kehidupan Kristus - baik inkarnasi-Nya, masa kanak-kanak-Nya, ataupun penyaliban-Nya - pastilah ia sungguh luar biasa dalam kekudusan, sungguh “penuh rahmat” dalam menerima serta menggenapi perannya sebagai Bunda Penebus, dalam arti “Bunda” yang sepenuh-penuhnya. Sebab itu, kita percaya, bahwa kekudusan yang luar biasa, yang penuh rahmat ini diperluas hingga saat awal permulaan kehidupannya, yaitu perkandungannya.

Secara praktis, jika dosa asal diwariskan melalui orangtua, dan Yesus mengambil kodrat manusiawi kita dalam segala hal kecuali dosa, maka Maria haruslah bebas dari dosa asal. Pertanyaan kemudian muncul, “Bagaimana mungkin Kristus adalah Juruselamat Maria?” Sesungguhnya, banyak perdebatan mengenai SP Maria Dikandung Tanpa Noda Dosa dalam abad pertengahan berfokus pada masalah ini. Duns Scotus (wafat 1308) menawarkan satu solusi dengan mengatakan, “Maria lebih dari semua orang lain membutuhkan Kristus sebagai Penebusnya, sebab ia pastilah mewarisi Dosa Asal … jika rahmat sang Pengantara tidak mencegahnya.” Dengan mengutip Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, Katekismus Gereja Katolik menambahkan, “Bahwa Maria `sejak saat pertama ia dikandung, dikarunia cahaya kekudusan yang istimewa', hanya terjadi berkat jasa Kristus: `Karena pahala Puteranya, ia ditebus secara lebih unggul'” (no. 492). Pada pokoknya, karena Maria dipilih untuk berbagi secara intim dalam kehidupan Yesus sejak saat ia dikandung, Ia sungguh adalah Juruselamatnya sejak saat perkandungannya.

Mungkin salah satu alasan mengapa diskusi mengenai Dogma Immaculata ini berkepanjangan adalah karena Gereja Perdana dilarang dan di bawah aniaya hingga tahun 313, dan kemudian harus menyelesaikan berbagai macam masalah seputar Yesus Sendiri. Refleksi lebih jauh mengenai Bunda Maria serta perannya muncul setelah Konsili Efesus (thn 431) yang dengan segenap hati menegaskan keibuan ilahi Maria dan memberinya gelar, “Bunda Allah” sebab ia mengandung dari kuasa Roh Kudus dan melahirkan Yesus yang adalah pribadi kedua dalam Tritunggal Mahakudus, yang sehakikat dengan Bapa. Beberapa Bapa Gereja Perdana, termasuk St. Ambrosius (wafat 397), St. Efrem (wafat 373), St. Andreas dari Crete (wafat 740) dan St. Yohanes Damaskus (wafat 749) merenungkan peran Maria sebagai Bunda, termasuk disposisinya yang penuh rahmat, dan menulis tentang ketakberdosaannya. Suatu pesta guna menghormati SP Maria Dikandung Tanpa Noda Dosa telah dirayakan di Gereja Timur setidak-tidaknya sejak abad keenam.

Sementara waktu berlalu, dilakukanlah pembahasan lebih lanjut mengenai keyakinan ini. Pada tahun 1849, Pius IX meminta pendapat para uskup di seluruh Gereja mengenai apa yang mereka sendiri, para klerus, dan umat rasakan mengenai keyakinan ini dan apakah mereka menghendakinya agar ditetapkan secara resmi. Dari 603 uskup, 546 memberikan tanggapan positif tanpa ragu. Dari mereka yang menentang, hanya lima yang mengatakan bahwa doktrin tersebut tidak dapat ditegaskan secara resmi, 24 tidak tahu apakah ini adalah saat yang tepat, dan 10 hanya menghendaki agar mereka yang menentang doktrin tersebut dinyatakan salah. Paus Pius juga melihat kelesuan rohani dalam dunia dimana kaum rasionalis sekolah filsafat telah menyangkal kebenaran dan segala sesuatu yang adikodrati, di mana revolusi-revolusi mengakibatkan gejolak sosial, dan revolusi industri mengancam martabat para pekerja dan kehidupan keluarga. Oleh sebab itu, Paus Pius menghendaki dibangkitkannya kembali kehidupan rohani umat beriman dan beliau melihat tidak ada cara yang lebih baik selain dari menampilkan kembali teladan indah Bunda Maria dan perannya dalam sejarah keselamatan. Maka, pada tanggal 8 Desember 1854, Pius IX menegaskan secara resmi dogma SP Maria Dikandung Tanpa Noda Dosa dalam bulla “Ineffabilis Deus”.

Akhirnya, menarik juga disimak bahwa dalam beberapa penampakan Bunda Maria, Santa Perawan sendiri menegaskan dogma SP Maria Dikandung Tanpa Noda Dosa. Pada tanggal 9 Desember (tanggal yang ditetapkan sebagai Perayaan SP Maria Dikandung Tanpa Noda Dosa di Kerajaan Spanyol) pada tahun 1531 di Guadalupe, Bunda Maria mengatakan kepada Juan Diego, “Akulah Perawan Maria yang tak bercela, Bunda dari Allah yang benar, yang melalui-Nya segala sesuatu hidup…” Pada tahun 1830, Bunda Maria mengatakan kepada St. Katarina Laboure agar dibuat Medali Wasiat dengan tulisan, “Maria yang dikandung tanpa noda dosa, doakanlah kami yang berlindung padamu.” Terakhir, ketika menampakkan diri kepada St. Bernadete di Lourdes pada tahun 1858, Bunda Maria mengatakan, “Akulah yang Dikandung Tanpa Noda Dosa.”

MENELADAN BUNDA MARIA, TELADAN UMAT BERIMAN (dari ‘fiat voluntas tua’ sampai ‘via dolorosa’ )

Diposting oleh "Eksotisme Gua Alam"

Negara kita masih dalam suasana krisis di berbagai bidang kehidupan berkepanjangan. Usaha untuk mengatasi krisis dengan dan melalui berbagai cara dirasakan oleh banyak orang belum terjadi perubahan apa-apa, bahkan ada yang mengatakan bahwa krisis semakin merajalela. Salah satu bentuk krisis yang memprihatinkan adalah krisis keteladanan atau kesaksian hidup beriman. Teladan berarti sesuatu yang baik berhubungan dengan perilaku atau tindakan/’cara bertindak’ dari atasan/pemimpin atau yang merasa di atas atau memimpin dan orangtua/merasa yang dituakan, yang dapat ditiru atau diikuti oleh bawahan atau anggota dan anak-anak/yang muda. Keteladanan atau kesaksian merupakan cara terbaik dalam rangka pembinaan atau pendidikan serta pewartaan atau tugas perutusan. “Kesaksian hidup Kristen merupakan bentuk tugas perutusan yang pertama dan tiada tergantikan” (Yohanes Paulus II: Ensiklik “Redemptoris Missio”, 7 Desember 1990, no 42).

Gereja melintasi lorong yang telah dilalui oleh Perawan Maria
Tempat-tempat peziarahan untuk berdevosi kepada Bunda Maria senantiasa dibanjiri umat, apalagi di bulan Mei atau Oktober. Dengan berziarah iman umatpun merasa disegarkan, digairahkan dan diteguhkan. Dalam kegiatan doa-doa lingkungan untuk berbagai macam kepentingan atau ujud ‘doa rosario’ tidak pernah ketinggalan, bahkan umat-umat di pedesaan memanfaatkan waktu sebelum perayaan ekaristi mendaraskan doa rosario secara pribadi. Devosi kepada Bunda Maria memang merupakan salah satu jalan atau cara untuk mendekatkan umat/orang pada Tuhan. Dari berbagai peristiwa yang terjadi di lingkungan umat beriman tersebut kiranya semakin meneguhkan keyakinan atau ajaran bahwa “Gereja melintasi lorong yang telah dilalui oleh Perawan Maria”.
Lorong adalah jalan, sarana yang memperlancar komunikasi antar pribadi; lorong menghubungkan tempat satu ke tempat yang lain. Bunda Maria, teladan umat beriman, telah menelusuri lorong yang membawanya menuju ke kebahagiaan atau keselamatan. Lorong-lorong yang telah dilalui oleh Bunda Maria itulah yang juga harus kita lalui jika kita menghendaki kebahagiaan dan keselamatan sejati. Kita dapat mengenali dan mengikuti lorong-lorong tersebut sebagaimana diwartakan oleh Penginjil/Pewarta Kabar Gembira.

I. PADA AWALNYA ADALAH SEBUAH PANGGILAN ALLAH

"Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah.” (Luk 1:30)

Maria adalah gadis desa, hidup sederhana dan memperoleh asuhan atau didikan dari orangtuanya secara memadai, lebih-lebih dalam hal hidup keagamaan atau keimanan. Dalam asuhan atau didikan yang demikian itu kiranya hati Maria penuh harap akan kedatangan Sang Penyelamat/Mesias, yang didambakan oleh banyak orang. Ia memiliki apa yang disebut dambaan suci, yang mendambakan kesucian atau persembahan total kepada Tuhan. Maka layaklah sapaan malaekat kepadanya sebagai yang ‘beroleh kasih karunia di hadapan Allah’. Dalam dan melalui Maria kasih karunia itu bukan hanya impian atau ilusi belaka tetapi akan menjadi nyata: kasih karunia Allah yang tidak lain adalah Penyelamat Dunia/Mesias akan ‘dikandung dan dilahirkan’ oleh Maria. "Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah. Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus” (Luk1:30-31), demikian warta gembira atau kasih karunia bagi Maria.
“Beroleh kasih karunia” memang membahagiakan sekaligus penuh tantangan dan hambatan. Para gadis atau remaja putri kiranya dapat membayangkan atau mawas diri apa yang terjadi jika tanpa suami atau belum berkeluarga hamil karena pergaulan bebas, apa reaksi teman-teman maupun orangtua. Saya yakin anda pasti akan dicibir, menjadi buah bibir, dilecehkan; kemarahan besar dapat terjadi pada orangtua anda, bahkan ada orangtua yang mengusir anak gadisnya ketika diketahui hamil di luar nikah atau akibat pergaulan bebas. Jika tidak diusir paling tidak diasingkan, entah harus berdiam diri di rumah tidak boleh pergi ke mana-mana atau dititipkan pada sanak saudara nun jauh di sana. Secara manusiawi kiranya Maria mengalami bayangan masa depan yang berat semacam itu, ketika ia harus mengandung dari atau oleh Roh Kudus; kiranya ada rasa ketakutan besar dalam diri Maria.
“Kasih karunia Allah” memang istimewa dan sekaligus memanggil orang yang memperoleh kasih karunia untuk hidup ‘melawan arus’, di mana arus kehidupan pada umumnya jauh dari kasih Allah, sebagaimana terjadi di masyarakat kita masa kini yang masih diwarnai oleh aneka kemerosotan moral hampir di semua bidang kehidupan. Memperoleh ‘kasih karunia Allah’ orang tidak mungkin hidup atau bertindak menurut keinginan atau kehendak sendiri, melainkan harus mendengarkan, merenungkan dan melaksanakan kehendak atau panggilan Allah. Yang ‘beroleh kasih karunia Allah’ cara hidupnya harus saling kasih-mengasihi. Apa itu kasih? “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu “ (1Kor 13:4-7). Atau orang yang ‘beroleh kasih karunia Allah’, sebagaimana Maria mengandung oleh karena Roh Kudus, ia akan hidup dijiwai oleh Roh Kudus dan dengan demikian cara hidup atau cara bertindaknya menghasilkan buah-buah Roh, yaitu: “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri “ (Gal 5:22-23). Bukankah beroleh kasih karunia Allah yang berarti hidup saling mengasihi atau dijiwai oleh Roh Kudus dengan menghayati keutamaan-keutamaan di atas merupakan tantangan yang sungguh berat?

II. RESIKO DAN KONSEKWENSI JAWABAN “YA”

"Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataan-mu itu.” (Luk1:38)

Maria tidak mundur atau melarikan diri menjauhi panggilan Tuhan yang penuh tantangan serta butuh pengorbanan tersebut. Dengan penuh penyerahan diri ia menanggapi panggilan Tuhan :” Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu”. Tanggapan Maria atas panggilan Tuhan ini telah menjadi inspirasi serta kharisma berbagai macam paguyuban hidup di dalam Gereja, entah hidup membiara atau kelompok-kelompok gerakan kaum awam. Maka baiklah kita juga berani menjadikan tanggapan Maria tersebut menjadi pegangan atau jiwa penghayatan hidup maupun pelayanan/kerasulan kita.
Pertama-tama marilah kita refleksikan jiwa ‘hamba’ atau pelayan atau dalam bahasa sehari-hari dalam rumah tangga disebut ‘pembantu rumah tangga’/PRT. Mereka yang disebut hamba, pelayan atau PRT yang baik pada umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: kerja keras, selalu siap siaga, datang lebih awal pulang lebih kemudian, sehat, senantiasa melayani dengan gembira atau senyuman, balas jasa/honor pas-pasan kalau tidak boleh dikatakan kurang dst…, ‘the last not the least’ seorang pelayan yang baik senantiasa harus dapat membahagiakan mereka yang dilayani. Jika ciri-ciri tersebut kurang memadai pada seorang pelayan ia tidak layak disebut pelayan dan siap utuk di PHK tanpa pesangon. Meneladan Maria yang menyatakan diri sebagai ‘hamba Tuhan’ yang berarti juga ‘hamba semua orang’, kiranya ciri-ciri tersebut harus ada dalam diri kita terutama cara bertindak atau bekerja yang membahagiakan siapapun tanpa pandang bulu, tanpa membeda-bedakan orang (SARA, usia, pangkat/kedudukan/jabatan, kaya/miskin dst..) serta hidup sederhana tidak berfoya-foya atau menghambur-hamburkan uang atau harta.
Selanjutnya kita dapat meneruskan refleksi perihal semangat pelayanan yaitu senantiasa bersikap “jadilah padaku menurut perkataanmu itu” alias menghayati keutamaan ketaatan. Ketaatan rasanya merupakan keutamaan yang mendesak dan up to date untuk dihayati dan disebarluaskan pada masa kini. Erat kaitannya dengan ketaatan adalah kerendahan hati, yang berarti orang senantiasa terbuka, siap sedia untuk di…(diperintah, diutus, dilecehkan/direndahkan dst..). Dalam bahasa sehari-hari masa kini bentuk penghayatan ketaatan dan kerendahan hati antara lain tidak mengeluh jika harus menghadapi atau melaksanakan tugas yang tidak sesuai dengan selera pribadi. Taat dan rendah hati memang mengandaikan keberanian dan kerelaan untuk meninggalkan egoisme atau cinta diri yang berlebih-lebihan. Dalam hal ketaatan ini kiranya kita juga dapat mawas diri dengan apa yang dikatakan oleh Paulus : “Hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga. Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Fil ; 2:3-8)
Satu hal yang layak kita renungkan untuk masa kini terkait dengan kutipan di atas adalah ‘tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan’. Masa kini banyak orang menyombongkan diri dengan aneka pangkat, ijasah, kedudukan atau jabatan yang dimiliki, padahal semuanya itu adalah bukan usahanya sendiri melainkan karena bantuan dan dukungan atau anugerah Allah melalui sesama kita yang baik hati. “Everything is given”, begitulah kata sebuah pepatah. Maka marilah kita tidak menyombongkan diri dengan aneka ‘kekayaan’ yang kita miliki, melainkan berterima kasih dan bersyukur atas semuanya itu. Ingat pepatah Jawa “batang padi yang berisi semakin menunduk, sebaliknya yang tidak berisi menengadah”. Semakin tua, berpengalaman, berkedudukan, terampil, cerdas dst…harusnya semakin rendah hati bukan semakin sombong. Untuk itu marilah kita renungkan dan refleksikan pernyataan, yang senantiasa diucapkan dan dicoba untuk dihayati, dari para gembala kita (Uskup dan Paus) yang menyatakan diri sebagai ‘Hamba yang hina dina’ dan ‘Hamba dari para hamba yang hina dina’.

III. MAKNA PERJUMPAAN DAN BERKAT

Maria mengunjungi Elisabeth dan memberi salam kepadanya.

Orang yang bergembira pada umumnya senantiasa ingin mewartakan kegembiraan yang ada kepada sesama, rekan dan sahabat-sahabatnya. Sebaliknya ketika orang mendengar berita bahwa saudara atau sahabatnya mengalami kegembiraan maka ia akan segera, bergegas untuk memberi ucapan selamat kepada saudara atau sahabatnya tersebut. Maria setelah menerima kabar gembira serta mendengar kabar gembira saudarinya, Elisabeth, ia bergegas ‘mengunjungi Elisabeth dan memberi salam kepadanya’.
Cukup menarik untuk direfleksikan kisah kunjungan Maria kepada Elisabeth ini. Keduanya dalah perempuan-perempuan yang mengandung karena dan oleh Roh Kudus, di dalam rahimnya tumbuh dan berkembang ‘kasih karunia Allah’; keduanya penuh dengan Roh Kudus. Ketika Maria memberi salam, ucapan selamat kepada Elisabeth, maka Elisabeth pun berseru: "Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu. Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku? Sebab sesungguhnya, ketika salammu sampai kepada telingaku, anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan. Dan berbahagialah ia, yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana." (Luk1:42-25). Dua perempuan bersaudara yang penuh Roh Kudus bertemu dan saling memberi salam serta pujian. Baiklah kisah perjumpaan dua perempuan bersaudara ini kita jadikan permenungan atau refleksi kita.
3.1.“Mengunjungi” atau mendatangi merupakan cirikhas cara berpastoral atau merasul. Allah telah mengunjungi umatNya yang lemah dan berdosa dengan menjadi Manusia seperti kita kecuali dalam hal dosa, Ia telah mengunjungi atau mendatangi umatNya. Maria yang sering dikenal sebagai yang “mendengarkan firman Allah dan melakukannya."(Luk8:21), segera setelah mendengarkan firman Allah langsung melaksanakan firman tersebut dengan mewartakan kabar gembira serta menyambut kegembiraan, mengunjungi Elisabeth saudarinya. Marilah kita meneladan Maria dengan ‘mengunjungi’ saudara-saudari kita; jika tidak mungkin dilaksanakan secara phisik kiranya kunjungan dapat juga dilaksanakan secara spiritual yaitu dengan mendoakannya. Kerasulan Doa merupakan salah satu bentuk karya kerasulan yang harus kita laksanakan dan sebarluaskan. Doa-berdoa dapat dilaksanakan di manapun dan kapanpun juga. Menyatakan diri sebagai orang beriman atau beragama tetapi tidak pernah berdoa, rasaya perlu dipertanyakan keimanan atau kegamaan orang yang bersangkutan.
3.2.“Saling memberi salam dan pujian” merupakan cirikhas orang yang penuh Roh Kudus, orang beriman, yang percaya atau mempersembahkan diri kepada Tuhan. Dalam memberi salam ini kiranya sudah menjadi kebiasaan kita setiap hari, antara lain dengan mengucapkan ‘Selamat pagi, selamat makan, selamat siang, selamat malam, selamat tidur dst..’. Sadar dan konsekwensikah anda ketika memberi salam atau ucapan selamat tersebut kepada saudara-saudari kita? Memberi salam berarti mengharapkan dan mendoakan agar saudara-saudari yang kita beri salam bahagia, aman, damai, sejahtera dalam apa yang akan dilakukan atau dikerjakan. Sebaliknya menerima salam berarti menerima dukungan dan bantuan dari saudara-saudari yang memberi salam. Marilah kita refleksikan apa yang kita buat setiap hari dengan memberi atau menerima salam tersebut, jangan hanya basa-basi atau formalitas/liturgis melulu melainkan menjadi nyata dalam cara bertindak atau berperilaku.
Erat kaitan dengan salam adalah pujian. Yang layak memperoleh pujian adalah yang baik atau berhasil, menjadi juara, sukses. Bukankah setiap orang/manusia layak memperoleh pujian karena masing-masing adalah pribadi-pribadi yang sukses, menjadi juara? Untuk memahami hal ini marilah ‘back to basic’: setiap manusia/orang adalah buah pertemuan satu sel telor dan satu sperma, ada jutaan sperma yang berjuang untuk merebut atau memasuki sel telor dan hanya satu sperma yang berhasil, jutaan lainnya kalah. Siapa ‘yang satu’ tersebut? ‘Yang satu’ tersebut tidak lain adalah saya, setiap orang/manusia yang hidup di bumi ini. Maka untuk membantu memberi pujian kepada saudara-saudari kita marilah kita lihat dan imani apa yang baik dan berhasil dalam diri sesama kita, dengan kata lain berpedoman pada prinsip “positive thinking” terhadap sesama, saudara dan sahabat-sahabat. Saya memiliki keyakinan bahwa selama orang yang hidup, entah di manapun, pasti yang bersangkutan memiliki kebaikan-kebaikan, keunggulan, keutamaan yang layak untuk diberdayakan dan difungsikan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Memang yang menjadi tantangan kita adalah menemukan dan mengakui kebaikan-kebaikan tersebut dan kemudian membantu pemberdayaan atau pemfungsiannya sesuai dengan keadaan dan situasi demi keselamatan sesama dan dunia.
3.3.“Diberkatilah buah rahimmu”. Yang memiliki rahim adalah perempuan; di dalam rahim tumbuh dan berkembang janin/ buah kasih manusia; dari rahim lahirlah buah kasih yang didambakan oleh orang yang saling mengasihi. Agar yang sedang tumbuh dan berkembang di dalam rahim dan kemudian lahir dengan sehat secara jasmani maupun rohani, maka perempuan/ibu bersangkutan yang sedang mengandung perlu menghayati keutamaan-keutamaan hidup yang membantu pertumbuhan dan perkembangan buah kasih tersebut. Memang untuk itu tidak lepas dari penderitaan, tetapi jika harus menderita karenanya (mengandung dan melahirkan), marilah kita renungkan sabda ini: “Seorang perempuan berdukacita pada saat ia melahirkan, tetapi sesudah ia melahirkan anaknya, ia tidak ingat lagi akan penderitaannya, karena kegembiraan bahwa seorang manusia telah dilahirkan ke dunia “ (Yoh16:21) . Keutamaan-keutamaan atau nilai-nilai yang menghidupkan dan menggairahkan memang lahir dari penderitaan. Sabar lahir ketika orang harus antri atau menunggu lama, rendah hati dan lemah lembut lahir ketika orang dilecehkan atau direndahkan, percaya lahir ketika orang menghadapi sesuatu yang tidak jelas, samar-samar atau kurang enak dst… Keutamaan-keutamaan hidup macam apa yang dibutuhkan oleh para ibu yang sedang mengandung dan melahirkan kiranya para ibu tahu sendiri dan berpengalaman, sedangkan yang menjadi tantangan adalah bahwa keutamaan-keutamaan yang dihayati ketika mengandung dan melahirkan tersebut dibutuhkan bagi setiap manusia atau dalam bergaul dan memperlakukan sesama kita sampai mati.
Di dalam ranah bahasa Indonesia akar kata ‘rahim’ dapat menjadi kerahiman yang berarti belas kasih. Pada era perjuangan gender masa kini hemat saya yang perlu diperjuangkan adalah ‘bahasa rahim/kerahiman’ tersebut dalam kehidupan setiap hari, bukan perempuan ingin menyamai atau bahkan mengalahkan laki-laki. Dunia masa kini memang dikuasai oleh ‘bahasa laki-laki’: menyerang, keras, ingin cepat-cepat/instant, kurang perhatian/ kurang memberi hati, kurang peka dst.. Sementara ‘bahasa perempuan yang memiliki rahim’ antara lain: menerima, menumbuh-kembangkan, sabar, penuh perhatian, menarik, peka, siap menderita, ‘mendengarkan dan merenungkan apa yang terjadi’ seperti Maria. Maka hemat saya gerakan gender yang perlu digalakkan dan disebarluaskan adalah ‘bahasa rahim’ tersebut alias nilai-nilai atau keutamaan-keutamaan yang menumbuh-kembangkan dan menggairahkan, menghidupkan, ‘budaya kehidupan’ bukan ‘budaya kematian’.

IV. MARIA MELAHIRKAN YESUS
“Tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin” (Luk2:6)

Dari dan melalui rahim Maria lahirlah Penyelamat Dunia, “menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan”. (Luk1:33). Yang dilahirkan sungguh menjadi pemenuhan harapan umat manusia di dunia akan keselamatan atau perdamaian. Para ibu atau perempuan, sekali lagi, kiranya lebih luas dan kaya dapat menceriterakan bagaimana pengalaman bersalin atau melahirkan anak. Bukankah untuk melahirkan anak (‘mengeluarkan anak dari rahim’) membutuhkan pengorbanan, perjuangan serta penyerahan diri penuh harapan pada penyelenggaraan ilahi?. Kelahiran Penyelamat Dunia dari atau melalui rahim Maria terjadi di tengah malam buta dalam puncak kemiskinan dan kesepian yang dialami oleh Maria. Itulah konsekwensi ‘fiat voluntas tua’.
Pengalaman kelahiran atau melahirkan ini dapat kita jadikan mawas diri bagi hidup, pelayanan serta kerasulan kita. Dari hati, otak, mulut, kaki, tangan, cara bertindak kita telah ‘lahir’ aneka pikiran dan tindakan yang terarah bagi sesama. Pertanyaannya adalah apakah pikiran dan tindakan tersebut menyelamatkan dunia seisinya, terutama sesama manusia. Agar pikiran dan cara bertindak kita sungguh dapat menyelamatkan dunia kita harus sungguh-sungguh men ‘dunia’. ‘Mendunia’ berarti ‘turun ke dunia’ agar mengenali seluk beluk duniawi yang nyata: suka duka manusia, kebutuhan-kebutuhan hidup sehari-hari, kesibukan maupun pekerjaan sehari-hari serta aneka sarana-prasarana yang membantu pekerjaan maupun kesibukan. Di mana ada bagian dunia atau sarana-prasarana yang tidak selamat, kita dipanggil untuk menyelamatkannya; dimana ada manusia tidak selamat alias miskin dan berkekurangan (kurang pandai, kurang sehat, kurang sosial, kurang beriman dst..) kita dipanggil untuk menyelamatkannya. Ingat dan waspdalah bahwa semakin mendunia orang harus semakin beriman dan percaya kepada Tuhan; mendunia tanpa iman akan menghasilkan akibat atau buah-buah yang amburadul atau berantakan.
Mengurus dunia yang paling nampak dan mungkin menantang masa kini adalah masalah keuangan, mengingat masih maraknya korupsi di Negara kita yang tercinta ini. Jika orang mengurus uang yang kelihatan saja tidak beres apalagi mengurus yang tidak kelihatan, hal-hal yang transcendent. Pengurusan uang atau harta benda adalah benteng dan ibu hidup beriman; jika pengurusan uang atau harta benda tidak beres, maka dengan mudah dapat dikatakan bahwa orang yang bersangkutan pasti imannya tidak beres. Dalam hal pengurusan uang atau harta benda ini hendaknya berpdoman pada prinsip ‘ad intention dantis’ (= maksud pemberi). Maksud pemberi harus diindahkan atau dilaksanakan: jika orang memberi uang kepada saya untuk membangun rumah maka seluruh uang yang saya terima harus dimanfaatkan untuk membangun rumah dst…
Pertanyaan refleksi untuk kita semua antara lain: apakah yang keluar dari kita, berita tentang kita, yang kita omongkan dan kerjakan sungguh menyelamatkan, mensejahterakan, membahagiakan sesama, terutama yang miskin dan berkekurangan? Kita adalah murid-murid atau pengikut-pengikut Penyelamat Dunia, selayaknya ‘cara bertindak’ kita menyelamatkan dunia. “Hendaklah kaum awam dengan kerjsa sama yang erat menyehatkan lembaga-lembaga dan kondisi-kondisi masyarakat, bila ada yang merangsang untuk berdosa. Maksudnnya supaya itu semua disesuaikan dengan norma-norma keadilan, dan menunjang pengamalan keutamaan-keutamaan, bukan malahan merintanginya” (Vatikan II: LG no 36).

V. MARIA MENYIMPAN SEMUA ITU DI DALAM HATINYA.

“Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya” (Luk 2:19)

Demikian berita yang diwartakan oleh penginjil Lukas tentang Maria ketika ia mendengarkan sesuatu yang kurang jelas baginya. Berita yang demikian ini juga dapat dibaca dalam kisah yang lain yaitu ketika Yesus berumur 12 tahun tinggal di Bait Allah dan dicari-cari oleh Maria bersama Yosep dan ketika bertemu Yesus berkata: "Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?" (Luk2:49). Ketika seorang ibu memperoleh jawaban dari anaknya semacam itu kiranya sang ibu akan marah-marah kepada anaknya, tetapi sekali lagi Maria “menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya”
Menyimpan sesuatu yang kurang jelas di dalam hati tidak berarti menjadi beban yang kemudian meluap ke luar menjadi issue-issue atau gosip-gosip sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan orang masa kini, melainkan menempatkan yang tidak atau kurang jelas tersebut menjadi bahan doa atau permenungan, yang tidak jelas dimeditasikan atau dikomtemplasikan. Bukankah hal ini merupakan sikap hidup ‘pahlawan karya penyelamatan’?. Jauhkan dan berantas aneka gosip, issue atau ‘ngrumpi’ tentang segala sesuatu yang belum atau tidak jelas serta berusaha dengan berbagai cara serta doa untuk mencari pencerahan atau penjelasan atas apa yang kurang atau belum jelas. Aneka bentuk gosip, isssue, ‘ngrumpi’ pada umumnya cenderung untuk melecehkan atau merendahkan yang lain atau sesama dan hemat saya hal itu merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
Untuk membantu usaha pencarian penjelasan atau pencerahan, secara pribadi kiranya dapat dilaksanakan kebiasaan ‘pemeriksaan batin atau pemeriksaan hati’ setiap hari. Dalam hal batin atau hati rasanya perempuan lebih mampu mengenali dan meresapi dari pada laki-laki. Ingat bahwa pemeriksaan batin atau hati merupakan bagian dari Doa Malam alias Doa Harian, maka selayaknya dilakukan setiap hari. Pemeriksaan batin bukan atau tidak sama dengan pemeriksaan dosa; di dalam pemeriksaan batin kita mau mengenali kecenderungan hati atau batin kita lebih ke arah yang baik dan yang jahat. Jika kita mahir dalam pemeriksaan batin, yang dilakukan setiap hari , kiranya kita akan mahir dalam berrefleksi atau melakukan aneka bentuk analisa, misalnya analisa SWOT atau KEKEPAN ( Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threatnesses atau KEkuatan, KElemahan, Peluang, ANcaman). Keterampilan atau kemahiran dalam berrefleksi atau beranalisa akan membantu kita menjadi cermat, teliti dan lebih tepat memandang serta menyikapi apa-apa yang sering kurang atau tidak jelas penampilan atau penyingkapannya.

VI. PERAN MARIA DALAM MEMBESARKAN YESUS
“Ia tetap hidup dalam asuhan mereka….Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.” (Luk2:51-52)

Yesus diasuh oleh Maria dan Yosep, dan dalam asuhan Keluarga Kudus di Nasareth Ia “makin bertambah besar dan bertambah hikmatNya dan besarNya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia”. Dari pengalaman dan pengamatan dalam hal hidup berkeluarga kiranya peran ibu sangat dominan dalam pengasuhan terhadap anak-anaknya; demikianlah halnya dengan apa yang terjadi di dalam Keluarga Kudus Nasareth, kiranya Maria yang mengandung dan melahirkanNya lebih dominan dalam pengasuhan Anaknya. “Selama masa kehidupan tersembunyi di rumah Nasareth, kehidupan Maria pun ‘tersembunyi bersama Kristus dalam Allah’ (bdk Kols 3:3) berkat iman. Karena iman adalah hubungan dengan misteri Allah. Setiap hari Maria ada dalam keadaan selalu berhubungan dengan misteri Allah menjadi manusia, suatu misteri yang tak terperi, yang melampaui misteri yang pernah diwahyukan dalam Perjanjian Lama”(Yohanes Paulus II: Ensiklik ‘Redemptoris Mater’, 25 Maret 1987 no 17). Maka bercermin dari pengalaman Maria maupun para ibu keluarga, marilah khususnya para ibu mawas diri dalam hal pengasuhan anak-anak.
Bahwa anak bertambah besar tubuhnya dalam asuhan orangtua kiranya tidak dapat diragukan, namun apakah anak-anak semakin berhikmat dan dengan demikian semakin dikasihi oleh Allah maupun sesama layak dipertanyakan. mengingat masih begitu maraknya kenakalan, tawuran anak-anak maupun pelajar, serta pergaulan bebas yang berdampak pada kehamilan di antara para remaja atau muda-mudi. Maka tantangan pengasuhan anak masa kini cukup berat. Hendaknya pengasuhan anak-anak meliputi berbagai kecerdasan yaitu: kecerdasan phisik, kecerdasan sosial, kecerdasan intelelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.
Kecerdasan phisik tidak lain adalah kesehatan phisik atau tubuh yang tahan atau tabah terhadap aneka serangan virus atau penyakit, sehingga tidak jatuh sakit. Kecerdasan sosial berarti orang yang bersangkutan dapat bergaul dengan siapapun tanpa membedakan SARA, usia, pengalaman, kepandaian, jabatan maupun kedudukan. Kecerdasan intelektual (IQ) adalah kecerdasan yang digunakan untuk memecahkan masalah logika maupun strategis. Kecerdasan emosional (EQ) memberi kita kesadaran mengenai perasaan milik diri sendiri dan juga perasaan milik orang lain; memberi kita rasa empati, cinta, motivasi dan kemampuan untuk menanggapi kesedihan atau kegembiraan secara tepat. Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.(lihat/bdk: Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ, Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, Mizan, Bandung 2001). Rasanya jika kecerdasan-kecerdasan ini dimiliki oleh anak, maka ia akan makin dikasihi oleh Allah dan sesamanya.
Dalam rangka pengasuhan atau pendidikan anak hemat saya keteladanan atau kesaksian hidup merupakan cara yang paling utama dan pertama-tama harus dilakukan oleh para orangtua. Tentu saja keteladanan atau kesaksian akan aneka kecerdasan tersebut di atas, yang menjadi nyata dalam diri orangtua yang ’makin dikasihi oleh Allah dan sesama’. Krisis keteladanan atau kesaksian rasanya merupakan bentuk krisis moral yang berkepanjangan atau masih marak dalam kehidupan bersama masa kini. Maka kami berharap terhadap para orangtua, bapak-ibu, agar dapat menjadi teladan dalam hal kecerdasan-kecerdasan tersebut di atas.

VI. VIA DOLOROSA : JALAN SENGSARA MENUJU KEMULIAAN
“Dan dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya dan saudara ibu-Nya, Maria, isteri Klopas dan Maria Magdalena” (Yoh19:25)
Penderitaan Maria tidak hanya terjadi ketika ia harus melahirkan Yesus di kandang hewan, malam sunyi sepi yang dingin, dalam puncak kesepian, tetapi ia juga menyertai dan menyaksikan Yesus yang menderita serta wafat di kayu salib. Jalan penyelamatan memang jalan salib dan siapapun yang bersedia berpartisipasi dalam karya penyelamatann harus berani menelusuri jalan salib, penderitaan yang berpuncak pada Salib atau penyerahan diri secara total kepada Allah dan dunia/sesama manusia. Jika kita mengakui dan mengimani Yesus serta meneladan Maria memang kita harus menempuh Jalan Salib.
Dalam hal mengikuti Yesus serta meneladan Maria ini, Santo Ignatius Loyola di dalam buku Latihan Rohani-nya antara lain menulis: “Mereka, yang mau lebih mencintai dan menjadi unggul dalam segala hal yang bersangkutan dengan pengabdian kepada Raja abadi dan Tuhan semesta, tidak hanya akan mempersembahkan diri seutuhnya untuk untuk berjuang, tetapi lebih lanjut bertindak melawan hawa nafsu, cinta kedagingan dan duniawi dalam dirinya, memberi persembahan yang lebih luhur dan lebih berharga dengan mengucap demikian ‘O Tuhan, semesta abadi, dengan karunia dan pertolonganMU, kuhaturkan persembahanku di hadapan KebaikanMu yang tak terhingga, di hadapan BundaMu teramat mulia dan sekalian Santo-Santa istana surga, aku berkehendak, berhasrat dan bertekad bulat, salah menjadi lebih besarnya pengabdian dan pujian bagiMu, akan meneladan Engkau menanggung segala kelaliman, segala penghinaan dan segala kemiskinan baik lahir maupun batin, bila KeagunganMu yang Mahakudus berkenan memilih dan menerima diriku untuk hidup sedemikian itu” (LR St.Ignatius Loyola nno 97-98).
Melawan hawa nafsu, cinta kedagingan dan duniawi pada masa kini kiranya sungguh merupakan bentuk penghayatan iman akan Yang Tersalib. Orang yang bernafsu besar sering disebut ‘gila’/kegila-gilaan, maka nafsu terhadap kedagingan dan duniawi dapat berkembang menjadi ‘gila kenikmatan seksual, gila harta, gila pangkat/kedudukan/jabatan dan gila hormat’. Jika tiada atau berkurang kenikmatan seksual, harta, pangkat/kedudukan/jabatan dan homat-nya, maka tinggal ‘gila’nya. Dan kiranya telah banyak orang menjadi ‘gila’ karena kehilangan kesikmatan seksual, harta, pangkat/kedudukan/jabatan dan kehormatan.
Berlawanan dengan gila kedagingan dan duniawi adalah ‘gila akan Salib’, persembahan diri seutuhnya kepada Allah dan dunia/sesama. Persembahan ini kiranya secara konkret dapat kita wujudkan dalam mengerahkan daya dan tenaga, harta, keterampilan, kesemapatan dan kemungkinan untuk memberantas atau memberangus mereka yang ‘gila seks, harta, pangkat/kedudukan/jabatan dan hormat’. Rasanya gerakan macam ini pada masa kini sungguh merupakan ‘jalan Salib’, kita berdiri di dekat kaki salib Yesus.
Cukup menarik dan mengesan bagi saya bahwa mereka yang setia berdiri di kaki salib Yesus adalah para perempuan bukan laki-laki, mereka yang sering dinilai lemah dalam kehidupan biasa/normal di masyarakat. Memang begitulah yang terjadi atau berlaku dalam hukum kehidupan nyata di masyarakat pada umumnya: dalam keadaan normal atau pesta pada umumnya yang tampil adalah mereka yang berkedudukan, tokoh, petinggi, orang penting dst.., sementara itu jika pada saat-saat genting atau harus menghadapi tugas pekerjaan yang membahayakan maka yang harus tampil dan maju adalah mereka yang dinilai lemah antara lain: rakyat, orang miskin, para perempuan dst.. Dengan demikian dapat kita yakini hukum kehidupan yaitu kelemahan sekaligus dapat menjadi kekuatan dan sebaliknya. Dan jika kita jujur rasanya kita semua adalah orang-orang yang lemah dan rapuh, maka marilah kita malu mengakui dan menghayati kelemahan dan kerapuhan kita, dan dengan demikian kita juga akan dapat berseru seperti Paulus “Justru anggota-anggota tubuh yang nampaknya paling lemah, yang paling dibutuhkan.”(1Kor12:22), atau “Jika aku harus bermegah, maka aku akan bermegah atas kelemahanku” (2Kor11:30).

VI. MARIA MENJADI SAKSI IMAN ATAS PERISTIWA KEBANGKITAN
“Mereka semua bertekun dengan sehati dalam doa bersama-sama, dengan beberapa perempuan serta Maria, ibu Yesus, dan dengan saudara-saudara Yesus” (Kis1:14)
Jam-jam dan hari-hari setelah Yesus disalibkan adalah saat-saat yang genting dan penuh tantangan serta kekhawatiran yang terjadi dalam diri para rasul atau murid-murid Yesus. Dalam suasana macam itu mereka berkumpul bersama, ‘bertekun dengan sehati dalam doa bersama dengan beberapa perempuan serta Maria, ibu Yesus’. Pengalaman ini kiranya baik menjadi permenungan dan refleksi kita.
Jika kita cermati situasi masa kini rasanya para pejuang-pejuang kebenaran, keadilan, kejujuran dll..sungguh mengalami atau menghadapi tantangan dan tekanan yang berat dari pihak-pihak tertentu, sebagaimana pernah terjadi dalam diri Munir maupun Policarpus yang konon hanya menjadi ‘wayang’ dalam kasus Munir. Mereka butuh dukungan, perlu didoakan serta sejauh mungkin ditemani. Maka meneladan Maria serta perempuan-perempuan lain yang menemani para rasul, marilah kita menemani para pejuang kebenaran, keadilan dan kejujuran entah dengan doa-doa, harta/uang maupun tenaga.
Kerasulan doa merupakan salah satu bentuk kerasulan yang kurang memperoleh perhatian pada masa kini, mungkin karena banyak orang sudah tidak berdoa atau lupa berdoa. Sekali lagi rasanya perempuan lebih pendoa daripada laki-laki dan juga lebih tahan menghadapi tantangan daripada laki-laki. Marilah kita tingkatkan dan kembangkan ‘kerasulan doa’ di antara kita, bagi anak-anak atau penerus-penerus kita.
Doa
Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai,
Bila terjadi kebencian,jadikanlah aku pembawa cintakasih
Bila terjadi penghinaan, jadikanlah aku pembawa pengampunan
Bila terjadi perselisihan, jadikanlah aku pembawa kerukunan
Bila terjadi kesesatan, jadikanlah aku pembawa kebenaran
Bila terjadi kebimbangan, jadikanlah ku pembawa kepastian
Bila terjadi keputus-asaan, jadikanlah aku pembawa harapan
Bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku pembawa terang
Bila terjadi kesedihan, jadikanlah aku pembawa sukacita
(St.Fransiskus Assisi)

PERJALANAN ROHANI BUNDA MARIA ADALAH PERJALANAN IMAN KITA

Diposting oleh "Eksotisme Gua Alam"

Bulan Oktober ditetapkan Gereja Katolik sebagai Bulan Maria, Bunda Tuhan Kita Yesus Kristus. Devosi terhadap Maria yang sangat populer di hati umat beriman diberi tempat yag istimewa selama bulan ini. Bunda Maria adalah Murid Tuhan yang sejati, dia taat pada kehendak Allah, mendengarkan dan melaksanakan Sabda Allah, setia mengikuti Yesus bahkan sampai di bawah salib-Nya. Ia solider dengan penderitaan sesama dan sangat rendah hati. Bunda Maria adalah teladan bagi seluruh umat beriman. Kita harus belajar dari perjalanan rohani Bunda Maria kalau mau menjadi murid Tuhan yang sejati. Menjadi murid Yesus tidak cukup hanya dengan identitas Katolik dan mengikuti upacara ritual saja, melainkan mau diubah dan disempurnakan dalam pertobatan diri terus menerus. Yesus bersabda, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku (Luk 9:23).”Perjalanan iman Maria adalah perjalanan batin dari kita, setiap orang Katolik. Dengan menatap, merenungkan, dan mendalami perjalanan Maria, kita bisa mengolah hidup batin kita. Seperti Bunda Maria, hidup imannya bukanlah sesuatu yang statis (tak bergerak), melainkan suatu proses bergerak, jatuh bangun, berkembang layu, maju mundur. Proses yang dinamis ibarat perjalanan yang membutuhkan energi, kekuatan, tujuan dan arah. Ada kalanya tantangan baik dari dalam maupun dari luar. Kadang bosan, jenuh, capek, krisis iman, tak jarang pula juga merasa sukacita, damai, tentram dan kasih. Itulah dinamika hidup rohani kita. Bilamana kita kepayahan dalam perjalanan ini, Sabda Yesus menguatkan kita, “Marilah kepadaku semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah daripada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan (Mat 11:28).” Tahap demi tahap kita mau melangkah maju dalam hidup rohani bersama Bunda Maria.

Ada beberapa tahap perjalanan rohani Bunda Maria:
A. TAHAP I: TAHAP MENGANDUNG YESUS
  1. Maria menerima Kabar Gembira dari Malaikat Allah (Lukas 1:28-38)Pengalaman Maria yang pertama dalam perjalanan rohaninya adalah menerima kehidupan baru yang akan bersemi dalam dirinya terlebih bukan seorang manusia biasa melainkan Putera Allah. Maria, gadis desa nan muda, mendapat Kabar yang sangat luar biasa dari malaikat bukan lewat mimpi melainkan seluruh hidupnya pada Yesus.
  2. Maria membawa hartanya ke bait Allah untuk mempersembahkan diri seutuhnya bersama-Nya kepada Allah.
Putranya itu adalah segalanya bagi Maria. Hanya bagi putranya itulah Maria akan hidup. Simeon digerakkan oleh Roh Kudus, mengenali Maria dalam kemiskinan dan keagungannya. Ia mendekati Maria dan mengambil Yesus dari tangannya. Simeon berpaling kepada Maria dan mengatakan kata-kata yang meramalkan apa yang harus diderita oleh perempuan perkasa itu, karena ia hanya mau menjadi hamba Allah semata-mata. “Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan dan membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan, supaya menjadi nyata pikiran hati banyak orang. Tetapi kelak suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri.” (Luk 2:34-35) Maria telah kagum akan kata-kata yang diucapkan oleh malaikat Gabriel, Elisabeth, para gembala dan para majus, Simeon dan Hana yang berisi pujian bagi putranya. Ia tidak menginginkan penghormatan mengabdi Allahnya. Di sini Maria mendapat pelajaran dari Roh Kudus bahwa tidak mungkin mengabdi Yesus Kristus tanpa menderita. Simeon meramalkan bahwa Putranya akan menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan. Putranya akan menderita, tetapi Maria pun akan mendapatkan suatu pedang dukacita yang menembus hatinya. Salah satu penderitaan paling besar yang dapat dialami oleh seorang ibu ialah menyadari, bahwa hidup yang diberikannya kepada anaknya, tidak dapat dimiliki untuk selamanya. Naluri Maria sebagai ibu hancur sama sekali pada hari Anaknya menyadarkan ibu-Nya, bahwa Ia tidak bergantung dari ibu-Nya dan bukan milik ibu-Nya sepenuh-penuhnya. Maria berkembang menjadi semakin gagah berani, itu bukan karena ia diminta Allah menyerahkan Yesus Putranya kepada rencana Allah yang bertentangan dengan keinginan kodratinya. Memang, ada penderitaan karena itu. Maria berkembang lebih karena Allah meminta dia (dalam iman) untuk mempunyai peranan lebih besar dalam turut menderita bersama Kristus melawan kekuatan-kekuatan jahat. Maria menderita ketika bersama Yusuf mencari Anaknya yang hilang tiga hari, lalu menemukan Dia di bait Allah sedang mengajar para ahli kitab. “Ketika orangtua-Nya melihat Dia, tercenganglah mereka, lalu kata ibu-Nya, “Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? Lihat, bapak-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau.” Jawab-Nya kepada mereka, “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” Tetapi mereka tidak mengerti apa yang dikatakan-Nya kepada mereka.” (Luk 2:48-50) Maria tidak mengerti. Ia perkasa, bukannya karena ia menderita, melainkan karena dalam penderitaannya Ia menyerahkan diri kepada kehendak suci Allah dalam iman dan ketaatan penuh kasih. Pedang menembus dia terus-menerus pada tahun-tahun yang cukup tenang dan penuh kegembiraan itu di Nazaret, karena Roh terus-menerus menyiapkan dia untuk menjadi lebih siap sedia berkata “ya” kepada apa pun yang menantikan dia dalam hubungannya dengan Yesus. Pada pesta perkawinan di Kana, Maria berpaling kepada Yesus dan hanya berkata, “Mereka kehabisan anggur”. Yesus menjawab “Mau apakah engkau dari pada-Ku, wanita? Saat-Ku belum tiba.” Jawaban itu tampaknya berbunyi sebagai suatu teguran keras; suatu penderitaan lain, karena Maria diingatkan bahwa ia tidak boleh memiliki Putranya yang datang untuk sesuatu yang lebih besar daripada hanya menjadi Putranya saja. Penderitaan Maria yang sejati ialah karena oleh Roh Kudus ia menjadi sadar, bahwa Yesus memanggil dia untuk mengambil bagian dalam “saat”-Nya pada waktu Yesus mencapai puncak hidup-Nya di dunia. Ketika Yesus ditinggikan di salib, di mana bagi Yesus saat itu merupakan saat kekosongan mutlak dalam kemiskinan roh dan penyerahan tuntas kepada kehendak Bapa karena kasih-Nya kepada kita manusia. Pada saat itu gelap gulita bagi Maria. Hatinya tersobek menjadi dua waktu menyaksikan pandangan mengerikan, melihat Putranya mengalami sakrat maut sampai mati; pada saat itu Maria pun memasuki kesatuan penderitaan dengan Yesus. Maria bersama Putranya beralih dari sikap memegang erat-erat hidupnya ke sikap memberikan sepenuhnya, bahkan sampai puncak kesakitan maut jasmani dan rohani. Penderitaan paling besar dan panggilan terbesar akan keberanian manusiawi terdapat dalam kasih, yaitu melepaskan kuasanya yang terakhir yakni hidupnya sendiri dan bahkan tidak lagi berpegang pada Yesus sebagai Putranya. “Fiat”nya (=terjadilah) yang diucapkan untuk menerima kabar sukacita sekarang mencapai puncak pemenuhannya di bawah Salib. Karena Maria cukup gagah berani untuk mempersilahkan Allah memilikinya secara penuh dan berbuat apa pun yang dikehendaki-Nya dengan dia, maka ia menderita bersama Kristus. Meskipun begitu, Perempuan perkasa tersebut dalam kesakitannya dimuliakan dengan menjadi ibu suatu keturunan, suatu bangsa baru yang banyak melebihi bintang-bintang di langit, melebihi pasir pantai di laut. Maria menjadi ibu rohani kita, bukan semata-mata karena Yesus menyerahkan dia kepada Yohanes. Maria adalah ibu kita karena ia adalah ibu Kristus. Yesus Kristus yang lahir dari Maria dan Yesus Kristus itu juga yang di Kalvari membentuk Tubuh Mistik-Nya yang beranggotakan kita merupakan satu kesatuan. Dalam diri Yesus kita mendapatkan kelahiran rohani kita dan keberadaan kita sebagai anak-anak Allah. Karena Maria melahirkan Yesus, maka ia juga ibu kita.
Keberanian kita menjadi orang Kristen

Sebagai orang Kristen, penderitaan yang paling besar akan datang di dalam batin kita, yaitu pergulatan rohani untuk mempersilahkan Yesus Kristus menjadi penguasa mutlak dalam hidup kita. Kita melekat pada benda, maka kita berusaha menemukan kedirian kita melalui milik. Tetapi Yesus datang memasuki hidup kita dan minta supaya kita melepaskan segala-galanya agar kita memiliki Dia sebagai segala-gala kita. “Hanya satu lagi kekuranganmu: Pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku.” (Mrk 10:21) Selama cara kita mengikuti Yesus tetap hanya berupa memenuhi perintah-perintah longgar dan lahiriah, mudah saja kita menjadi orang Kristen. Tetapi, apabila Allah mulai meminta perlibatan seluruh hidup kita secara lebih penuh untuk mengabdi-Nya, mulailah terasa adanya banyak ikatan. Kita menggeliat-geliut, menentang, mencari dalih, memikir-mikirkan alasan untuk membenarkan diri, menunda-nunda untuk menjawab “ya” secara tuntas. Pokoknya seperti pemuda kaya itu, kita pergi dengan sedih karena kita tidak siap untuk membayar harga yang diminta Yesus. “Mendengar perkataan itu ia menjadi kecewa, lalu pergi dengan sedih, sebab banyak hartanya.” (Mrk 10:22)

B. Tahap II: Tahap Selama Perjalanan Hidup Bersama Dengan Yesus
Perjalanan rohani Maria semakin terinternalisasi lewat pengalaman hidup bersama Yesus kurang lebih 33 tahun. Sebagai Ibu Yesus, Maria bergaul akrab dengan Sang Putera dalam ikatan batin yang erat. Maria dan Yusuf mendidik Yesus dengan baik dalam suasana iman dan tradisi Israel. Namun mereka juga dibentuk dan dididik oleh Yesus dalam pengalamannya sehari-hari dengan Yesus. Tak jarang Maria, ‘menyimpan semua perkara itu dalam hatinya (Luk 2:57)’ dan dia menjadi murid Yesus yang sejati dari awal hidup Yesus sampai kematian Yesus di kayu salib, bahkan setelah kebangkitan-Nya dan turun-Nya Roh Kudus.
  1. Iman Yang Hidup Sebagai Anugerah Allah: Peristiwa Yesus Dipersembahkan ke Bait Allah (Luk 2:21-41) Maria dan Yusuf mempersembahkan Yesus ke Bait Allah di Yerusalem karena mereka tahu bahwa Anak mereka adalah Anugerah Allah. Anugerah Allah yang memberikan Hidup yang sejati bagi manusia. Yesus, Anugerah Hidup yang sejati, mengundang manusia terutama bagi Maria dan Yusuf untuk memelihara dan menghayati kehidupan bersama Yesus dalam tubuh, jiwa dan roh. Dengan mempersembahkan Yesus ke Bait Allah, Maria dan Yusuf mengakui bahwa Yesus adalah milik Sang Pencipta. Ada suatu ketidakterikatan dalam keterikatan, artinya Yesus adalah ‘anak mereka, milik mereka’, tetapi pada saat yang sama Yesus adalah milik Allah, bukan milik mereka. Demikian juga iman kita atau kehidupan kita adalah milik Allah yang dianugerahkan kepada kita. Apakah iman atau kehidupan kita menghasilkan buah-buah kebaikan? Apakah kita hanya mau diuntungkan dan menikmati sendiri buah-buah rohani itu? Yesus adalah Persembahan Yang Hidup dan Sejati bagi Allah, keselamatan diberikan cuma-cuma bagi mereka yang percaya.
  2. Hidup Yang Penuh Bahaya: Keluarga Kudus Mengungsi ke Mesir (Mat 2:13-23) Kehidupan Maria dan Yusuf tidak terlepas dari bahaya, yaitu ancaman Raja Herodes. Maria, Yusuf dan Kanak-Kanak Yesus harus mengungsi ke Mesir. Kanak-Kanak Yesus menjadi ancaman bagi Herodes yang gila kekuasaan untuk melenyapkan setiap bayi lahir di Bethlehem yang dianggap sebagai Raja Orang Yahudi. Allah melalui malaikat-Nya memperingatkan dan melindungi Keluarga Kudus Nazaret ini dari bahaya ancaman Herodes. Iman kita juga penuh dengan ancaman bahaya, yaitu kemalasan, kedangkalan iman, kesombongan rohani, dan keinginan-keinginan daging dan duniawi. Bahaya dapat muncul dari dalam diri sendiri atau pengaruh dari luar diri kita. “Waspadalah dan berjaga-jagalah, jangan sampai Hari Tuhan datang ke atas dirimu seperti pencuri di waktu malam.”
  3. Kegelapan Iman: Maria dan Yusuf Cemas Mencari-cari Yesus (Luk 2:41-52) Setiap tahun orangtua Yesus pergi ke Yerusalem pada hari raya Paskah dan mengikut sertakan anaknya Yesus. Dalam perjalanan pulang sehari perjalanan, Maria dan Yusuf menyangka Yesus ada di antara kaum keluarga dan kenalan mereka tetapi mereka tidak menemukan Yesus. Kembalilah mereka dengan cemas ke Yerusalem dan selama tiga hari, mereka merasakan kegelapan pikiran, hati dan iman. Setelah tiga hari itu, mereka menemukan Yesus di dalam Bait Allah di tengah-tengah alim ulama. Semua orang sangat heran akan kecerdasan dan segala jawab yang diberikan Yesus. Kita bisa mengalami malam gelap rohani yang dialami Maria. Malam gelap yang menyelimuti kegelapan hati yang dingin dan pedih. Seolah-olah Tuhan tidak hadir lagi, tak ada seorang pun yang mengerti dan terasa sendirian. Suatu malam gelap iman yang membersihkan jiwa dari segala sesuatu yang Bukan Allah, yaitu ego-ego, keangkuhan, nafsu-nafsu tak teratur, dan dosa-dosa. Siapkah Anda mengalami proses pemurnian malam gelap jiwa?
  4. Maria Teladan Orang Beriman yang Melakukan Kehendak Allah: Siapakah Anda bagi Yesus? ( Markus 3:31-35) Maria dan saudara-saudara Yesus mau menemui Yesus yang sedang mengajar di rumah ibadat. Mereka berdiri di luar, lalu orang-orang yang duduk mengelilingi Yesus mengingatkan ibu dan saudara-saudara-Nya yang datang. Yesus dengan bijaksana mengatakan, ‘inilah Ibu dan saudara-saudaraku: Barangsiapa melakukan Kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku (Luk 3:35).’ Siapakah Anda bagi Yesus? Sudahkah Anda melakukan Kehendak Allah atau Anda masih mencari keinginan diri sendiri? Bunda Maria menunjukkan kerendahan hati, ketaatan dan pengurbanan yang besar untuk melakukan kenehdak Allah sebagai Bunda, Perantara Segala Rahmat kepada Tuhan Yesus Kristus.
  5. Maria Menjadi Perantara Rahmat : Pesta Perkawinan di Kana(Yoh 2:1-11) Bunda Maria, Yesus dan para murid menghadiri pesta perkawinan di Kana. Para pelayan pesta meminta bantuan Bunda Maria untuk menyampaikan kepada Yesus Kristus karena mereka kehabisan anggur pesta. Tanpa anggur tidak ada pesta perjamuan, anggur lambang sukacita kedatangan mesias, lambang pengharapan dan keselamatan, saat itulah terjadi keadaan kritis. Atas imannya yang besar, Maria menyampaikan kepada Yesus bahwa mereka kehabisan anggur. Maria mengatakan kepada para pelayan pesta, “apa yang dikatakan (Yesus) kepadamu, perbuatlah itu! (Yoh 2:5).” Mukjizat air menjadi anggur yang terbaik dilakukan Yesus Kristus. Maria memang manusia biasa sekaligus pilihan Allah yang dipakai menjadi perantara rahmat bagi manusia. ‘Tota Christi Per Mariam, artinya melalui perantaraan Maria, kita sampai para Yesus seutuhnya.’
  6. Sikap Kemuridan Maria: Dari Aksi Menuju Kontemplasi (Luk 2:19.39-40.50-52) Pada umumnya orang suka berdoa, memohon supaya apa yang disampaikannya kepada Tuhan didengarkan. Manusia suka berbicara dan ingin selalu didengarkan, lalu ia mengatakan, “Dengarlah Tuhan, hamba-Mu berbicara.” Sebaliknya sikap Maria sebagai murid lebih banyak mendengarkan, merenungkan dan melaksanakan Sabda Allah daripada berbicara. Kita ingat bagaimana Samuel menjawab panggilan Tuhan, “Berbicaralah Tuhan, hamba-Mu mendengarkan! ( 1 Sam 3:9.10)” Demikian juga Bunda Maria tidak memusatkan perhatiannya pada ‘aku yang berbicara pada Allah’, tetapi ‘aku yang mendengarkan Allah berbicara.’ Tuhan Yesus lebih memuji Maria yang duduk mendengarkan Yesus, sebab Maria ‘memilih bagian terbaik yang tidak akan diambil daripadanya’ daripada Marta yang sibuk dengan banyak perkara.
Meneladan Bunda Maria berarti hidup dengan lebih sadar dan penuh perhatian serta selalu berusaha untuk memberi ruang bagi Sabda Allah. Sabda Tuhan, “Berbahagialah yang mendengarkan Sabda Allah dan hidup sesuai dengannya.” Inilah pergeseran dari aksi menuju kontemplasi.

C. Tahap III: Tahap Melampaui Perjalanan, Tahap Transformasi Dalam Kristus
Tahap transformasi dalam Kristus, yaitu perubahan dari dimensi kontemplasi ke dimensi mistik. Tahap ini melampaui kontrol manusia karena ini semata-mata anugerah Allah. Kita hanya dapat mempersembahkan hati yang murni kepada Allah. Kita dapat ‘mengandung Roh Kudus’ dalam hati kita dan mengikuti jejak Kristus. Kita dapat hidup dengan Maria-Yesus dan mencintai mereka, tetapi kita tak dapat mengusahakan kehadiran mereka. Cinta Yesus kepada Maria melampaui pengalaman manusiawi kita yang terbatas. Perubahan (transformasi) Maria melalui proses yang tidak gampang dan sekali jadi, melainkan melewati perjalanan batin sepanjang hidupnya.

1. Makna Salib Bagi Maria: Pengalaman Padang Gurun (Yoh 19:25-27)
Pengalaman mistik Bunda Maria adalah pengalaman salib. Bunda Maria mengikuti dan memandang jalan salib Puteranya dengan mata kepala, hati dan jiwanya. Yesus Puteranya yang terkasih, dijatuhi hukuman mati, difitnah, dicemooh dengan kata-kata kasar, diludahi, ditampar, ditinggalkan para muridnya. Yesus memanggul salib, jatuh, dan wafat di kayu salib. Penderitaan seorang ibu yang sungguh luar biasa dashyat melihat putera satu-satunya diperlakukan secara kejam. Hati Maria seperti tertusuk pedang yang amat dalam. Pengalaman menyakitkan ini seperti halnya pengalaman padang gurun rohani. Di padang gurun kita dicobai, diganggu, kesepian, gersang, kering, tak berdaya, menakutkan, ingin menghindari, tak ada yang peduli dan membantu. Justru pada saat itulah Tuhan mau memurnikan kita dari ego kita, kepalsuan dan topeng kemunafikan kita, dari keangkuhan rohani, kerakusan rohani, dan segala sesuatu yang menghalangi kita lebih dekat dengan Allah. Padang gurun ini adalah suatu proses penelanjangan diri yang terus menerus dan tak pernah berakhir: mempersembahkan kepada Allah, hati yang murni sehingga dapat merasakan kehadiran ilahi tak hanya setelah kematian tetapi selama hidup.

2. Kebangkitan (Paska): Masuk Padang Gurun Cinta
Maria memasuki padang gurun cinta di mana Kasih Allah mengalir dalam hidup bersama Yesus, Puteranya. Suatu cara baru dari kehidupan dianugerahkan. Kehausan akan Allah dapat dipenuhi oleh anugerah cinta. Kepenuhan ini membangkitkan suatu kerinduan, suatu kehausan yang mendalam. Proses kerinduan dan kepenuhan ialah proses dari kasih yang tak pernah selesai. Pemenuhan yang mendalam akan dicapai ketika kita mati secara fisik untuk hidup secara penuh dalam Yesus dan dalam kasih dari Bapa di surga. Sekali kita mengalami kuasa kehadiran-Nya yang penuh kasih dalam hidup ini, kita dapat memberikan diri secara penuh untuk pengosongan diri. Salib dan kematian Yesus dapat dianggap sebagai masa transisi dari perjalanan-Nya masuk ke dalam padang gurun cinta. Kebangkitan berarti masuk ke dalam padang gurun cinta. Yesus mati sebagai manusia untuk masuk ke dalam kehadiran ilahi. Ia mati untuk hidup dalam Allah. Kematian diri sendiri dan kelahiran kembali dalam Tuhan terjadi bersamaan secara sempurna. Maria berjalan bersama Yesus ke dalam padang gurun, di mana tidak ada jalan sama sekali (buntu). Namun ketika Maria berdiri di kaki salib Yesus, ia memberi kesaksian apa yang melampaui perjalanan rohaninya: padang gurun kasih yang melimpah. Saat penyaliban Yesus adalah saat peninggian-Nya.

3. Kenaikan Yesus dan Turun-Nya Roh Kudus (Kis 1-2)
Tahap transformasi Maria adalah pengalaman akan turunnya Roh Kudus bersama para rasul yang lain. Ia sendiri mengalami apa yang terjadi pada Pentakosta. Ia juga dipenuhi dengan Roh Kudus dan mengidungkan madah keagungan Tuhan. Ia menghidupkan kembali peristiwa Kabar Gembira Malaikat Gabriel dan perasaan yang dulu ia alami sekarang bergema lagi dalam hatinya. Maria telah membuka suatu jalan kerinduan semua manusia: suatu kerinduan yang dibangunkan dengan mau menerima Allah menjadi manusia, mengandung-Nya karena Roh Kudus, lalu dimurnikan ketika Yesus masih hidup dan dipenuhi dalam Kasih Allah yang tak hentinya mengubah selama hidupnya dan sampai akhir hidupnya di dunia.

4. Kematian dan Pengangkatan Maria ke surga (Why 12:1-6)
Bunda Maria diangkat ke surga karena mengambil bagian dalam kemuliaan Putera-Nya, Tuhan Yesus Kristus yang bangkit mulia dan duduk di sebelah kanan Bapa. Karena kesetiaannya pada Yesus, Maria dianugerahi rahmat istimewa oleh Allah di surga. Pengangkatan Maria ke surga berarti kepenuhan hidup yang dipenuhi oleh Kehadiran Allah. Pengangkatan ke surga dapat dimengerti dalam terang Kebangkitan Yesus. Pada akhir hidupnya di dunia, perjalanan untuk mencari dan menemukan Allah sampai pada titik dalam Kasih Allah yang abadi. Dengan merayakan pengangkatan Maria ke surga (dirayakan 15 Agustus), Gereja mengenang bahwa seperti Yesus, Maria juga hidup dalam Kasih Allah dengan tubuh dan jiwanya, serta menjadi Ratu di surga dan di bumi. Dengan mengikuti teladan hidup Maria, kita berharap ikut serta suatu saat dalam kehidupan abadi dalam hadirat Allah Mahatinggi. Siapkah Anda menerima karunia istimewa itu kelak?