Gua Maria Lawangsih terletak di Perbukitan Menoreh, perbukitan yang memanjang, membujur di perbatasan Jawa Tengah dan DIY, (Kabupaten Purworejo dan Kulon Progo). Di tengah perbukitan Menoreh, bertahtalah Bunda Maria Lawangsih (Indonesia: Pintu Berkat/Rahmat). Gua Maria Lawangsih berada di dusun Patihombo, Desa Purwosari, Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo. Secara gerejawi, masuk wilayah Stasi Santa Perawan Maria Fatima Pelemdukuh, Paroki Santa Perawan Maria Nanggulan, Kevikepan Daerah Istimewa Yogyakarta, Keuskupan Agung Semarang. Kontak Person: Romo Ign. Slamet Riyanto, Pr Pastoran SPM Tak Bernoda Nanggulan Karang, Jatisarono, Nanggulan, Kulon Progo Phone: 0857 4371 7676 Anda ingin berpartisipasi dalam pembangunan Gua Maria Lawangsih? Doa dan partisipasi Anda akan membuat semakin banyak umat mengenal Allah, dekat dengan Allah melalui Maria. Berkah Dalem Gusti tansah amberkahi

Berita dan Info

GUA MARIA PENGILONING LERES - CIKAL BAKAL GUA MARIA LAWANGSIH NANGGULAN

Diposting oleh "Eksotisme Gua Alam" Minggu, 07 Maret 2010

Mengingat tempatnya yang jauh dan terpencil dari kota Yogyakarta, wajar bila Goa Maria Pangiloning Leres tidak banyak dikenal oleh masyarakat di luar Stasi Pelem Dukuh. Medan yang cukup yaitu jalan turun naik yang agak curam dan rusaknya sebagian jalan menjadi alasan sedikit orang berkunjung ke Goa Maria Pangiloning Leres. Padahal, ada banyak hal-hal yang menarik terdapat di sana. Hal yang hanya terdapat di Stasi Pelem Dukuh, Stasi yang kaya akan pemandangan alam yang asri dan goa alami nan indah.

Goa Maria Pangiloning Leres adalah salah satu tempat ziarah bagi umat Katholik yang terdapat di perbukitan Menoreh. Goa Maria ini terletak di Desa Purwosari, tepatnya di Stasi Santa Maria Fatima Pelem Dukuh, Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo, kira-kira 35 km dari Kota Yogyakarta. Stasi Santa Maria Fatima Pelem Dukuh sendiri adalah bagian dari Paroki Santa Perawan Maria Tak Bernoda Nanggulan. Paroki Nanggulan merupakan sebuah paroki besar yang membawahi 4 wilayah dengan 19 lingkungan kecil di dalamnya, juga satu stasi yang direncanakan akan segera menjadi sebuah paroki sendiri yaitu Stasi Pelem Dukuh.

Pada mulanya, sebelum dijadikan tempat berdoa, Goa Maria ini merupakan sebuah goa alami biasa yang terletak di atas bukit. Letaknya kebetulan berada di atas gereja Santa Maria Fatima Pelem Dukuh. Menurut Bapak Wakidi, seksi Katekese di Stasi Pelem Dukuh, ada sebuah legenda yang tercipta dari goa alami ini. Konon katanya, goa ini dulunya dipakai oleh para makhluk halus sebagai kandang kuda Sembrani. Hal ini terbukti dengan adanya sebuah mata air di bagian bawah bukit yang bernama “benjaran” yang berarti tempat minum kuda.

Pada perkembangan iman umat katholik di stasi pelem dukuh yang semakin meningkat, (perlu diketahui bahwa hampir semua warga di daerah ini memeluk agama katholik) semakin besar pula keinginan untuk mendekatkan diri pada Tuhan melalui Bunda Maria. Keinginan inilah yang membuat Romo paroki pada waktu itu yaitu Romo Adi Wardoyo Pr. dan Romo Suharto Widodo Pr. berinisiatif menjadikan goa di atas bukit tersebut menjadi sebuah tempat ziarah umat Katholik. Pertimbangan lain para romo tersebut adalah jauhnya tempat ziarah lain bagi umat Katholik di Pelem Dukuh. Inisiatif ini disambut baik oleh warga, dan jadilah sebuah tempat ziarah yang terdapat di Stasi Pelem Dukuh.

Nama Pangiloning Leres sendiri di ambil dari bentuk Goa Maria yang seperti cermin (pengilon), sedangkan bila digabungkan antara nama “pengilon” yang berarti cermin dan “leres” yang berarti benar menjadikan nama goa maria tersebut memiliki makna yang mendalam yaitu tempat bercermin atas suatu kebenaran. Goa maria pangiloning leres diberkati pertama kali oleh Romo Adi Wardoyo sekitar tahun 1994 dan kemudia diberkati oleh Uskup Agung semarang yaitu Uskup Mgr. Ignasius Suharyo. Pemberkatan ini dilakukan ketika beliau memberikan Sakramen Krisma pada tahun 1998.

“Bila dilihat dari bawah, Goa Maria ini nampak seperti bahtera. Bahtera Nabi Nuh yang pada zaman dahulu telah menyelamatkan manusia dan mahkluk-makhluk lainnya di atas bumi dari air bah” ungkap bapak Wakidi. Bentuk bahtera ini kemudian semakin disempurnakan dengan adanya patung Kristus Raja Semesta Alam sebagai nahkoda bahtera tersebut. Patung ini adalah sumbangan dari romo paroki pada masa itu yaitu Romo Antonius Tri Wahyono Pr. Sekarang, lengkap sudah penampilan bahtera tersebut, ada Tuhan Yesus sebagai nahkoda yang selalu memberkati semua umat Katholik di Stasi Pelem Dukuh.

Pembangunan terbaru untuk menyempurnakan tata ruang dari Goa Maria ini adalah pembangunan sebuah pendopo sebagai tempat berdoa dan digunakan sebagai altar bila hendak melaksanakan Misa. Adapula sebuah Goa Maria baru yaitu Goa Maria Lawaningsih yang dibangun sebagai tempat berziarah umat katholik. “Pembangunan ini dibiayai oleh Pak Erik, seorang donatur dari Jakarta dan swadaya dari umat Pelem Dukuh sendiri” ungkap Ibu Ngatilah yang juga menjabat sebagai seksi liturgi di Stasi Pelem Dukuh. Kelengkapan sarana prasarana yang melengkapi penampilan Goa Maria ini membuat semakin khusuknya kita dalam berdoa dan memuliakan tuhan melalui perantaraan Bunda Maria.

Gereja Santa Maria Fatima

Dari luar, Gereja Santa Perawan Maria nampak seperti Gereja kebanyakan. Sekilas tak akan terlihat keistimewaannya bila dibandingkan dengan Gereja lain. Bila kita melihat segi arsitekturnya, mungkin saja akan kalah bila dibandingkan dengan gereja yang terdapat di kota besar lainnya. Namun, bila kita masuk ke dalam Gereja kita akan melihat beberapa lukisan yang indah dimana Gerbang Kerajaan Surga tergambar indah di dinding. Adapula kisah pembangunan yang penuh perjuangan karena Gereja sulit mendapatkan tanah pada waktu itu.

Menurut Bapak Wakidi, awal berkembangnya iman Kristiani di Stasi pelem Dukuh adalah pada tahun 1929. Benih iman di Pelem Dukuh dimulai dengan dibaptisnya beberapa orang di daerah Dangsambuh oleh Romo Prennthaler, S.J., dan Romo Satiman, S.J. Pada awalnya, misa dilakukan di rumah Bapak Martowiharjo yang kebetulan adalah mertua dari Bapak Wakidi. Misa pertama yang dilakukan di wilayah Pelem adalah misa yang sederhana karena rumah yang digunakan juga sangat sederhana. Seiring bertambahnya umat, Romo Prennthaler, S.J., memutuskan untuk pindah ke rumah Bapak Paulus Kromo Martono yaitu pada tahun 1948. Tempat ibadah berpindah dari daerah Pelem ke Dukuh yaitu di rumah Bapak Paulus Kromo Martono. Hal ini disebabkan karena semakin banyak orang yang dibaptis dari sekitar tempat itu. Pertambahan umat banyak terjadi di Dusun Patihombo dan Jatiroto.

Sekian lama menumpang di rumah umat sebagai tempat beribadah, membuat umat ingin memiliki bangunan gereja sendiri. Romo yang mengusahakan pembelian tanah adalah Romo Joyosewoyo. Awalnya, Romo dan umat memutuskan untuk membeli tanah seluas 1000 meter di daerah Sabrang Kidul sebagai Gereja. Kurangnya perhitungan membuat pembangunan gereja tidak bisa dilanjutkan, hal ini dikarenakan tanah yang dibeli oleh Gereja adalah tanah bermasalah atau yang biasa disebut tanah Pulosroyo. Gagalnya pembangunan tak menyurutkan niat umat, tak lama berselang mereka memilih tanah di daerah Munggang Dowo. Namun, pembangunannya pun tak diteruskan entah karena alasan apa. Sementara umat sudah mulai meratakan tanah di sana.
Pada akhirnya, Tuhan pun memberkati umat Pelem Dukuh untuk mendapatkan tanah sebagai Gereja, tempat umatnya berdoa memuliakan namanya. Pada masa kepemimpinan Romo Santo Seputro dipilihlah tempat mendirikan kapel yang lebih permanen yaitu dengan menggunakan tanah OO (tanah Oro-oro), artinya tanah pangonan yaitu tanah yang pada saat rajangan (pembagian tanah) tidak diminati oleh rakyat. Tanah ini merupakan tanah yang dimiliki oleh kasultanan, dengan status Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai oleh Gereja. Terpilihnya tempat tersebut menjadikan umat memiliki gereja tersendiri untuk merayakan Ekaristi yang pada waktu itu dilakukan setiap 35 hari sekali.

Renovasi pertama Gereja Santa Maria Fatima Pelem Dukuh dilakukan pada tahun 1986. Pada waktu itu Romo paroki yang merencanakan renovasi besar itu adalah Romo Adi Wardoyo, Pr. Bentuk joglo ditinggalkan dan diubah menjadi bentuk kampung. Bangunan hampir mendekati gereja-gereja barat dengan menempatkan lonceng dibagian depan gereja. Renovasi kedua dilakukan pada tahun 2002 yaitu dengan memperluas Gereja dan meninggikan atap. Bentuk altar juga agak ditinggikan, lantai altar diganti menjadi keramik dan ditambahkan pula balkon guna menampung banyaknya umat yang datang. Tempat pengakuan dosa juga diperbaiki agar nampak lebih indah.

Arsitektur yang digunakan oleh gereja baru ini lebih menarik daripada sebelumnya. Penataan batu-batu alami di sisi barat gereja menambah asrinya gereja ini. Pemertahanan bentuk alami batu kapur tanpa tembok ini adalah sesuai dengan anjuran Romo Yb. Mangun Wijaya yang merupakan arsitek handal. Pada waktu renovasi terakhir yaitu pada tahun 2002, ditambahkan lukisan-lukisan yang menggambarkan kerajaan surga di belakang altar, lukisan rusa dengan hamparan rumput yang luas menghijau juga terpampang di sebelah kiri altar, di belakang patung Bunda maria.

Keistimewaan Gereja ini ditambah dengan adanya dua Goa Maria alami yang terdapat disekeliling Gereja. Bila dibandingkan dengan tempat lain, tidak selalu setiap Gereja memiliki kekayaan tempat berdoa seperti di stasi kami, Stasi Pelem Dukuh. Banyaknya umat yang semakin bertambah setiap tahunnya membuat semakin lengkapnya cita-cita para pendahulu yang sudah merintis iman yang ada di daerah Pelem Dukuh dan sekitarnya.

*) Tulisan ini adalah karya Sdri. Windiarti, sebagai sebuah kesaksian setelah mengunjungi dan berziarah di Gua Maria Lawangsih Pelemdukuh Nanggulan. Tulisan ini mengalami beberapa penyesuaian oleh Rm. Ignatius Slamet Riyanto, Pr, Pastor Paroki SPM Tak Bernoda Nanggulan, Kulon Progo

0 komentar

Posting Komentar